Judul : LGBT Mewabah di Banten, Perlukah Regulasi?
link : LGBT Mewabah di Banten, Perlukah Regulasi?
LGBT Mewabah di Banten, Perlukah Regulasi?
Oleh : Eko W. Muchayat
Bidang Humas & Kerjasama Yayasan Banten Barokah
Kisah pilu pelaku LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender)
Anak itu diadopsi oleh sepasang gay semenjak kecil. Bocah tak berdosa itu tak tahu jika takdir pada akhirnya akan mengantarkan nya pada sebuah fakta dimana dia harus hidup di tengah orang tua yang kedua nya berjenis kelamin sama. Ayah dan ayah.
Pada media sepasang gay orang tua asuh itu awalnya mengaku memperoleh anak dari hasil penyemaian benih yang ditanamkan. Pada publik mereka kesankan hidup tentram rukun damai. Sepasang lelaki dengan seorang putra. Seolah ingin disampaikan bahwa mereka pasangan gay pun dapat hidup bahagia berkeluarga dengan sesama jenis.
Namun ibarat bangkai, lama kelaman ditutupi bau nya tercium juga. Anak yang mereka bangga-banggakan dari hasil penyemaian itu ternyata sebuah kebohongan. Belakangan akhirnya terbukti bahwa mereka sebenarnya telah mengadopsi anak itu waktu masih kecil.
Membeli bayi tersebut seharga USS 8.000 bukan melalui proses surrogacy.
Kebohongan mereka itu tidak tamat sampai disitu. Usut punya usut ternyata selama itu kedua orang tua LGBT ini memanfaatkan si bocah untuk memuaskan nafsu seks mereka terhadap sesama jenis. Ketika si bocah laki-laki itu berusia empat tahun, dua pria lain berkelainan juga bergabung memanfaatkannya.
Sungguh mengerikan seorang bocah kecil menjadi santapan bersama para pria bernafsu keji. Buruknya lagi, bak pelatih sirkus kedua orang tua bejat ini piawai melatih sang bocah untuk berpura-pura menjadi bagian dari keluarga bahagia dengan orang tua yang pernuh perhatian serta berbohong ketika berada diluar rumah.
Kasus Mark Newton dan Peter Truong ini akhirnya terungkap tahun 2011 di Selandia Baru, penyidik meneruskan temuan ini ke pihak berwenang di Brisbane, Australia. Lalu pada tahun 2012 mereka di vonis 40 tahun penjara. Kejadian ini terjadi di luar Indonesia, namun bukan tak mungkin hal ini terjadi juga secara sembunyi-sembunyi di negeri tercinta ini.
Bahaya LGBT
Manusia normal tentunya akan merasa jijik dan kesal jika membaca kisah tersebut. Ini merupakan fakta biadab pelaku LGBT. Mereka terus mengintai mangsa baru. Seperti drakula yang siap menyergap siapa saja. Menularkan penyakit dan memperbanyak komunitas untuk menutupi keburukannya.
Sebuah data menguatkan bahwa pria penyuka sesama jenis ternyata memiliki pasangan lebih banyak dari pada pria berselingkuh. Seorang gay bisa memiliki pasangan 20 – 106 per tahun, sedangkan pezina selingkuh tidak lebih dari 8 pasangan. Dengan demikian kita dapat berkesimpulan interaksi seks sesama jenis tersebut dapat berlangsung sangat cepat.
Bahkan studi tersebut menyebutkan bahwa 79% mereka belum mengenal pasangan baru mereka. Dengan banyaknya pasangan itu pastilah sumber penyakit sangat mudah sekali terus menjalar.
LGBT ini menjadi semacam paranoid baru. Jika kita melihat sepasang lelaki berdua, bisa jadi kita curiga bahwa kedua laki-laki ini merupakan pasangan gay. LGBT juga menjelma menjadi teror baru. Para orang tua menjadi khawatir anak-anak mereka bermain keluar rumah.
Pulang sekolah. Membatasi ruang bermain anak. Sebab mereka merasa was-was kalau buah hati mereka menjadi mangsa monster jahat perusak masa depan.
Jika diminta menyebutkan satu per satu bahaya LGBT ini sudah lebih dari cukup. Dari sisi medis banyak penyakit yang timbul dari kelainan ini. Mulai dari kanker anal, kanker mulut, radang selaput otak hingga virus mematikan HIV.
Kabar meninggalnya salah seorang aktivis LGBT baru-baru ini, yang terserang fungsi kekebalan tubuhnya membuat publik bertanya-tanya betulkah yang bersangkutan meninggal karena flek paru-paru, sakit bagian perut dan lambung seperti yang dikabarkan media.
Makanan pun tak dapat masuk kedalam tubuhnya. Jika masih ada pembela LGBT dan merasa alergi dengan norma sosial dan agama sebagai dasar dilarangnya perilaku LGBT, silahkan sebutkan argumen secara medis atau sosial dampak positif dengan hadirnya LGBT. Jika pada pertanyaan ini saja tak dapat diberikan jawaban.
Maka sesungguhnya perjuangan pegiat LGBT pada akhirnya hanya berhenti sebatas pengakuan status saja. Gerakan perjuangan para aktivis LGBT menemui titik buntu dan hilang arah membentur kelangsungan hidup sosial dan berbangsa. Tidak ada dampak positif bagi kehidupan diri si pelaku, bagi masyarakat dan bangsa, lebih ekstrim lagi kita katakan dampak yang muncul justru destruktif bagi kehidupan masyarakat dan berbangsa.
LGBT Antara Hak Asasi dan Kepentingan
Propaganda yang coba disebar oleh aktivis LGBT tidak lebih hanya berusaha mencoba mengemis simpati publik. Bahwa mereka merupakan individu yang termarginalkan. Individu yang perlu diterima di masyarakat.
Serta memiliki kebebasan hak asasi.
Merupakan kesalahan yang fatal jika tiap fakta yang terjadi di masyarakat atau dalam kehidupan berbangsa dapat diakomodasi kepentingannya. Jika sudah terjadi demikian maka nyata-nyata penyakit sosial seperti mencuri, berjudi atau merampok akan berduyun duyun minta di akomodasi.
Di berikan tempat. Diakui eksistensinya. Dibuatkan perlindungan untuk kepentingan tindakan pelanggaran tersebut. Akan lucu juga misal pencuri yang ingin diakui eksistensinya diberikan kebebasan mencuri, di buatkan perkumpulan resmi yang diakui, ada perkumpulan profesi bersertifikasi, lalu dibuatkan format baru dalam penulisan identitas jati diri.
Di KTP tertulis, pekerjaan sebagai pencuri. Seorang pencuri mengatakan menjadi seorang pencuri merupakan hak asasi. Dia katakan ini adalah pilihan hidup dalam berprofesi. Atau dia katakan sudah suratan takdir dia menjadi pencuri. Dialek berpikir yang parah.
Sebab jelas-jelas aktivitas mencuri jelas-jelas mengganggu hak orang lain. Ada hak orang lain yang dia ambil. Ada pagar yang dia lompati. Ada batas-batas yang perlu dijadikan acuan. Ada tolak ukur yang digunakan sebagai standar hak asasi. Jadi LGBT ini hak asasi ataukah kepentingan segolongan orang.
Menanti Fajar dari Bumi Banten
Fakta baru terjadi di Provinsi Banten. Tanah para ulama pejuang bangsa. Bahwa Komisi Penanggulangan Aids (KPA) Banten merilis sebuah data bahwa warga Banten dikejutkan bahwa di sekitar mereka terdapat 3.275 waria dan 2.175 pria penyuka pria (gay).
Secara rinci KPA merilis pria penyuka pria tersebut tersebar di kabupaten Lebak terdapat 165 orang, 5 orang di Pandeglang, 165 orang di kabupaten Serang, 63 orang di kota Tangerang Selatan, 87 orang di kota Cilegon, 396 orang di kota Tangerang, 625 orang di kota Serang dan 669 orang di kabupaten Tangerang.
Dengan usia dominan adalah antara 18 - 35 tahun. Jumlah ini fantastis meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 200 persen.
Ternyata dibalik religius tanah Banten yang syarat tinggal para ulama ini, bersembunyi para pelaku LGBT. Pelaku dan pengidap itu bisa jadi berada di sekitar kita. Bisa jadi tetangga átau rekan kerja.
Ini sungguh suasana yang cukup mencekam. KPA Banten pun heran dan kewalahan kenapa pertumbuhan LGBT di Banten ini melonjak, padahal telah gencar dilakukan sosialisasi dan edukasi. Bisa jadi jawaban itu adalah keterangan yang disampaikan tokoh MUI Serang dalam satu kesempatan.
Dia mengatakan bahwa kelompok LGBT ini rutin sering kali melakukan pertemuan setiap malam minggu di salah satu rumah makan cepat saji di kota Serang. Saat ini kelompok ini tidak terang-terangan sebab masih mencari dukungan. Banyak cara yang ditempuh kelompok LGBT untuk semakin memperluas jaringan dan dukungan.
Menyembuhkan para pelaku LGBT merupakan tugas berbagai pihak, baik oleh keluarga, masyarakat, tokoh agama ataupun lembaga-lembaga sosial yang ada dapat dilibatkan dalam kampanye penyadaran bahaya perilaku LGBT. Upaya itu tentu saja dengan harapan bahwa para pelaku dapat menjalani kehidupan secara normal.
Mengembalikan orientasi seksual nya kepada lawan jenis serta memilih kehidupan keluarga yang sesuai dengan norma agama dan norma sosial yang ada. Melanjutnya keturunan melalui hubungan pernikahan antara laki-laki dan perempuan sesuai kodrat manusia.
Disamping upaya yang dapat dilakukan oleh masyarakat dan keluarga guna mencegah menularnya wabah LGBT, sesungguhnya garda terdepan dalam pencegahan LGBT ada pada pemerintah. Regulasi merupakan alat yang cukup efektif mengatur permasalahan sehingga sampai pada titik temu solusi penyelesaian. Benteng keluarga dan ajaran agama dapat menjadi penopang regulasi.
Artinya regulasi memiliki kelebihan yaitu memiliki kekuatan yang mengikat.
Setelah MK tidak mengabulkan gugatan uji materi delik perzinaan, pemerkosaan dan cabul sesama jenis, bisa jadi ini adalah kesempatan pemerintah daerah untuk kreatif melindungi masyarakatnya baik di tingkat kota maupun provinsi dari penyebaran wabah LGBT.
Pemerintah daerah dapat menjadi jawaban atas kegundahan masyarakat sebab pada kenyataannya pemerintah pusat belum dapat memberikan kepastian kenyamanan atas wabah ini.
Sesungguhnya tidak perlu apriori terhadap regulasi. Jika yang terbayang dalam penerapan regulasi adalah aktivitas penindakan atas pelanggaran, maka cara pandang semacam itu sepertinya perlu diluruskan.
Regulasi dalam prakteknya dapat meliputi : tindakan pencegahan, antisipasi, tindakan pengobatan dan jika semua itu belum memberikan efek perbaikan, pemberian sanksi menjadi pilihan terakhir.
Munculnya regulasi itu bukan bermaksud mengusir para pelaku LGBT, akan tetapi justru memberikan perlindungan kepada masyarakat dan bagi pelaku itu sendiri. Masyarakat mendapatkan perlindungan dia menjadi korban propaganda dan korban penyakit.
Adapun bagi pelaku perlindungan itu dapat berupa pendampingan agar pelaku kembali hidup normal. Di lain sisi pelaku sesungguhnya mempunyai hak untuk sembuh yang diatur dalam sebuah regulasi. Dan pemerintah mempunyai tanggung jawab memenuhi itu.
Di tahun 2005, seorang Walikota Tangerang cukup berani dan bijak dengan menerbitkan sebuah regulasi berupa Perda anti miras dan pelacuran. Tujuannya dalam rangka menekan dan menyingkirkan kemaksiatan merajalela di kota Tangerang, Perda ini pada awalnya menimbulkan pro dan kontra.
Akan tetapi gebrakan semacam ini lah yang sepertinya dinantikan masyarakat Banten. Masyarakat membutuhkan perlindungan hukum atas bahaya tindakan keji LGBT. Sebagaimana keberanian Wahidin Halim ketika menjadi Walikota Tangerang, agaknya masyarakat kembali merindukan keberanian ketika kini beliau menjadi Gubernur.
Yayasan Banten Barokah sebagai entitas masyarakat yang peduli terhadap perbaikan masa depan Banten bisa menjadi mitra yang akan mendukung dan memberikan masukan bersama kumpulan organisasi lain yang memilki kepedulian yang sama. Kita berharap Allah SWT memberikan limpahan keberkahan di Banten, keberkahan yang diturunkan dari langit maupun keberkahan yang dimunculkan dari dalam bumi.
Sebagaimana dijanjikan dalam kitab suci Al quran (Al Araf 96), bahwa modal dan kunci sukses itu terletak pada keimanan dan ketakwaan penduduk negeri tersebut. Kita berharap dari tanah Banten contoh sukses itu bermula. Apakah mungkin? Insya Allah.
Sobat baru saja selesai membaca :
LGBT Mewabah di Banten, Perlukah Regulasi?
Cepot rasa sudah cukup pembahasan tentang LGBT Mewabah di Banten, Perlukah Regulasi? dikesempatan ini, moga saja dapat menambah informasi serta wawasan Sobat semuanya. Wookey, kita ketemu lagi di artikel berikutnya ya?.
Telah selesai dibaca: LGBT Mewabah di Banten, Perlukah Regulasi? link yang gunakan: http://cepotpost.blogspot.com/2018/01/lgbt-mewabah-di-banten-perlukah-regulasi.html