DIALOG EKSTREM DENGAN TERORIS, SEKARANG!

DIALOG EKSTREM DENGAN TERORIS, SEKARANG! - Hai Apa kabar Sobat pembaca CEPOT POST?, Cepot harap kabar Sobat baik-baik saja dan tak kurang suatu apa ya.. hehehe.. di kesempatan yang baik ini kita akan mengupas post dengan judul: DIALOG EKSTREM DENGAN TERORIS, SEKARANG!, dan sepertinya post kali ini layak dimasukan dalam kategori Artikel Berita, Artikel Daerah, Artikel Kabar, Artikel Maluku, Artikel Post, Artikel Update, Nah biar gak kelamaan, yuk langsung kita simak saja.

Judul : DIALOG EKSTREM DENGAN TERORIS, SEKARANG!
link : DIALOG EKSTREM DENGAN TERORIS, SEKARANG!

Baca juga


DIALOG EKSTREM DENGAN TERORIS, SEKARANG!

Catatan Oleh Rudi Fofid

Tinjau akun media sosial dan media daring.  Apa reaksi publik terhadap peristiwa di Mako Brimob dan bom Surabaya? Ada dua kata kunci yang cukup menonjol yakni “kutuk”  dan “biadab”.  Sampai di sini, kedua kata tersebut lebih berupa reaksi spontan atas aksi teror.

Bila masuk lebih jauh ke akun-akun medsos dan link berita, ada kata-kata yang lebih jujur atau terpaksa, sadar atau naif, perlu diverifikasi satu demi satu.  Kata-kata “tembak mati, hukum mati, bunuh, tembak di tempat” nampak cukup menonjol.  Intinya, teroris harus mati, bahkan tanpa harus menempuh proses hukum.

Kalau kita berhenti di kata “tembak mati” atau “bunuh”, maka semua akun yang menuliskan kata-kata itu perlu sadar, bahwa kata “tembak mati” dan “bunuh” baru ditulis hari ini sebagai sebuah reaksi.  Penulis kata-kata itu bukan teroris.  Mereka orang baik-baik tapi  sanggup menulis kata-kata itu secara sadis di muka publik.  Sadis adalah tidak berbelas kasihan.

Nah, mereka yang kita sebut sebagai teroris, pelaku bom bunuh diri, tidak menulis di akun medsos sebagai suatu ancaman, curhat, maki atau reaksi.  Mereka telah memasukkan kata “mati” dan “bunuh”  di dalam otak, jantung, darah, dan sumsum.  Jiwa dan raga mereka sudah siap, dan rela mati.  Sebagai bukti, mereka melakukannya di lapangan, sesuai target.  Kita baru di level ide emosional, mereka sudah di level  aksi tenang tanpa emosi.  Patut dicatat bahwa oleh satu situasi, di dalam otak pelaku teror dan otak orang baik-baik yang anti teroris, terdapat kosa-kata yang sama: “Bunuh”.  Artinya, dalam hal berhadap-hadapan,  isi kepala kita sama saja: “Bunuh”.

Boleh diperdebatkan! “Bunuh” oleh teroris adalah kejahatan publik.  Itu persepsi kita.  “Bunuh” versi negara adalah penegakan  hukum.  Itu juga versi kita.  Bagaimana persepsi teroris itu sendiri.  Meledakkan gereja dan ada korban jiwa.  Jahatkah?  Tentu tidak.  Itu tugas suci.  Itu versi  pelaku.  Bagaimana dengan negara yang menangkap aktivis kelompok teroris?  Di mata teroris, negara juga harus dilawan.  Jangan kaget dengan pembunuhan atas lima anggota polisi.  Itu sangat heroik, bagi seorang teroris.

Memahami kelompok lawan, musuh, terkadang bagai memahami angka 6 dan 9.  Dengan gambar bangun yang sama namun terbalik satu sama lain 69, maka untuk sebut enam atau sembilan, tergantung di mana posisi berdiri kita.   Bunuh diri, meledakkan bom,  rumah ibadah rusak, warga tak berdosa tewas.  Inilah yang dikutuk-kutuk dan disebut biadab.  Itu versi kita.  Versi pelakunya, mereka telah menjalankan misi secara baik dan sempurna.

Jadi, mana yang benar?  Kita atau mereka? Ini juga rumit.  Kebenaran harus datang dari sumber yang mulia yakni kebenaran ilahi.  Dalam konteks bernegara, maka kita menunggu kebenaran hukum berbicara, dan demi semua itu, kita butuh orang-orang cendikiawan yang melontarkan gagasan tentang kebenaran ilmiah secara jujur dan independen.

Bagaimana menerobos semua ini secara serentak?  Agama sebagai sumber kebenaran, harus memperlihatkan pesona sebagai agama yang membebaskan dan menyelamatkan.  Biarlah pada agama-agama yang baik ini, anggota jamaah dari yang kuno sampai yang kini, semuanya mau memeluk agama secara merdeka sesuai dogma, aqidah, ajaran, liturgi, ritual, tradisi, yang membawa keselamatan sambil memuliakan Allah secara tulus.  Biarlah seruan puji Tuhan diucapkan oleh bibir yang bergetar karena jiwa sunggug merasa kebesaran Tuhan dalam kemanusiaan, persatuan, kerakyatan yang hikmat, dan keadilan sosial.

Hukum sebagai sebuah sumber kebenaran, haruslah jelas, pasti, terang, adil dan tentu benar.  Di tengah situasi 72 tahun Indonesia Merdeka, dalam pengalaman menghadapi beragam ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan, kita belum tuntas-tuntas juga merumuskan suatu kepastian hukum sehingga ada kebenaran hukum.  Nah, dari pemberitaan media, ada masalah dengan posisi berdiri Ketua Pansus RUU Terorisme.  Saya tidak membahas di sini,  tetapi ketidakpastian terbitnya UU Terorisme akan membuka peluang bagi terorisme untuk beraksi karena mumpung ada semacam situasi vakum hukum.

Dalam situasi Indonesia dilanda teror seperti ini, mari keluarlah para guru-guru besar yang cendekiawan.  Jangan hanya menjadi orang cerdas dan baik, yang ada di dalam kotak kaca, di ruang bawah tanah, atau gua-gua persemedian.  Keluarlah dan buka mulut, perdengarkan suara kebenaran secara damai.  Kita harus bagaimana?  Bicaralah sebab republik ini membutuhkan guru-guru bangsa dengan suara kenabian.

DIALOG EKSTREM

Sebagai sebuah bangsa yang kita agungkan dalam persaudaraan Indonesia, siapa di antara kita yang pernah tinggal, makan, minum, sembahyang dan dialog dengan orang atau kelompok orang yang kita sebut "teroris".  Bukankah mereka juga Indonesia?  Bukankah mereka juga manusia?  Apakah kita tahu, dan mengerti tujuan hidup mereka, apa yang sedang mereka perjuangkan?

Dalam dua bulan terakhir ini, CNN merilis kisah permusuhan Kelompok Ronald Regang dan kelompok Iskandar Slameth. Satunya pasukan tentara cilik Kristen, satunya pasukan Jihad Cilik. Hanya oleh perjumpaan dan dialog yang difasilitasi dengan penuh cinta oleh perempuan aktivis seperti Helena Rijoli (Kristen Protestan),  Syakiah Samal (Muslim), Warny Belu (Muslim), Oliva Lasol (Katolik), dkk,  anak-anak pranggang beda agama dan saling bermusuhan ini bisa saling paham.  Mereka akhirnya sanggup meninggalkan cita-cita awal menghabisi lawan, dengan cita-cita baru menyongsong hidup bersama dengan segenap cinta.

Sungguh mengharukan menyaksikan Ronald, Iskandar, dan kawan-kawan mereka sebagai duta damai dari Maluku, mengemas dan mengangkut makanan dan pakaian.  Mereka bekerja bersama-sama menuju Pelabuhan Ambon.  Di sana, mereka mengangkut  dos-dos kemasan ke atas kapal, untuk diantar ke Banda Aceh yang sedang dilanda susah pasca tsunami 2004.

Kisah Ronald dan Iskandar mulanya sangat personal, namun melibatkan komunitas-komunitas  yang luas di Ambon.  Ada pancaran inspirasi dari keduanya yang mempengaruhi personal dan komunitas lintas bangsa.  Bagaimana dengan kehidupan sebagai sebuah bangsa dan sebuah negara?  Indonesia punya pengalaman cantik dalam hal dialog. Dialog dengan Permesta adalah sebuah kisah sukses pada masa silam, dan dialog bersama GAM tentu masih segar dalam ingatan.  Dialog dengan Permesta telah menghasilkan amnesti dan abolisi.  Pimpinan Permesta tidak mendapat hukuman, demikian halnya GAM.  Berbedalah dengan Republik Maluku Selatan (RMS) yang menutup pintu dialog.  Hukuman mati bagi Soumokil dkk tidak terhindarkan.

Presiden Filipina Corazon Aquino juga mengandalkan dialog.  Ia menawarkan amnesti kepada gerilyawan komunis yang sudah 18 tahun melakukan teror bom dan serangan bersenjata, dalam pemerintahan Ferdinand Marcos.  Pada tahun 1987, Corazon mengajak gerilyawan meletakkan senjata selama tenggat waktu enam bulan.

"Kami berharap langkah-langkah amnesti menyatukan kembali keluarga, menyembuhkan kesedihan dan luka-luka bangsa kami," kata Corazon di televisi nasional dalam sebuah pidato bertajuk “Menyembuhkan Luka-Luka Bangsa”.

Bagaimana dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)?  Sebelum pemerintah mengeluarkan larangan, apakah pernah ada dialog yang cukup antara pemerintah dan HTI?  Kalaupun ada dialog,  bagaimana kedudukan dialog, apakah cukup setara?  Bagaimana suasana batin dialog tersebut?

Siapa bilang tidak bisa dialog dengan seteru, musuh, teroris?  Tidak ada yang tidak bisa.  Kita butuh juru-juru runding yang sangat banyak di Indonesia.  Kita butuh orang-orang pelintas batas, pelintas pergaulan hingga pelintas gagasan,  untuk bisa duduk satu meja dalam perundingan yang tulus, adil, merdeka.  Kita pernah punya diplomat setangguh Des Alwi, yang sanggup menyelesaikan konfrontasi Indonesia-Malaya dalam waktu hanya lima menit bersama Tun Abdul Razak di Malaysia.

Wakil Presiden Jusuf Kalla adalah seorang juru runding yang hebat.  Jusuf Kalla bukan saja piawai dalam negosiasi bisnis. Ia tergolong politisi senior paling aktif yang ada di permukaan kepempinan nasional.  Jangan ditanya, apa yang kurang dari Jusuf Kalla.  Semua bisa ia lakukan pada usianya yang tidak lagi muda.  Perjanjian Malino I untuk Perdamaian Poso (2001), Perjanjian Malino II untuk Perdamaian Maluku-Maluku Utara (2002), dan Perjanjian Damai Helsinki untuk Nangroe Aceh Darussalam (2005), adalah buah dari kemampuannya.

Dalam kondisi bangsa yang gawat-darurat penuh teror, kita butuh banyak manusia setengah dewa, sekecil Ronald Regang, Iskandar Slameth, Helena Rijoli, Syakiah Samal, Warny Belu, Oliva Lasol, atau sekaliber Jusuf Kalla, ada banyak di Indonesia, asalkan punya nyali yang “tak gentar lawan banyaknya seribu kali” (Chairil Anwar).

Sambil menunggu UU Terorisme segera terbit, dan tidak dibenam, kelompok-kelompok negara dan non negara dapat melakukan inisiatif-inisiatif. Baik sebagai pihak yang berunding, maupun mediator.  Perundingan dapat dilakukan secara bertahap, dengan agenda dan capaian yang terukur.  Mungkin kita akan mencapai lose-lose solution karena akan ada korbanan secara seimbang.  Dengan lose-lose, kita justru  mencapai win-win solution.

Hari-hari ini, sebagai sebuah bangsa besar, kita perlu jedah kemarahan dan kebencian.  Tidak usah saling kutuk-kutuk.  Tanpa dikutuk pun sudah terkutuk.  Orang terjun ke dalam air, tanpa disebut basah, dia sudah basah.  Kita butuh hening, berdoa, meminta ampun, meminta maaf, meminta kekuatan, agar kita menemukan jalan-jalan terang.  Kita perlu sedikit kerja keras, kuat, sabar dan tahan menderita, untuk mencapai hasil-hasil besar. Kita perlu melintas batas, melintas gagasan, berdialog dengan musuh sekalipun. 

Jangan terlalu nyaman seolah sudah hebat dengan hastag  #KitaBersamaPolri, #KitaTidakTakut, itu menambah semangat lawan. Menembak mati, itu tak ada efek  jera.  Patah tumbuh hilang berganti, mati satu seribu ganti.  Jangan kira teroris tidak bertelur dan beranak-pinak.  Satu-satunya yang perlu kita ingat adalah, ada banyak orang bisa keluar dari ekstremisme.  Banyak  contoh sepanjang sejarah.

Seorang teroris, penjahat, bernama Thomas Matulessy.  Dialah yang memimpin rakyat merebut Benteng Duurstede dalam hari-hari berdarah 14-16 Mei 1817 atau 201 tahun silam.  Mereka membunuh Residen van den Berg, istri dan dua anak.  Akibatnya, leher Thomas dipatahkan di Belakang Benteng Nieuw Victoria Ambon.  Sejarah menobatkannya sebagai pahlawan nasional. Selamat hari Pattimura. Mari berjuang pakai api Pattimura!

Penulis adalah Redaktur Pelaksana Media Maluku Post


Sobat baru saja selesai membaca :

DIALOG EKSTREM DENGAN TERORIS, SEKARANG!

Cepot rasa sudah cukup pembahasan tentang DIALOG EKSTREM DENGAN TERORIS, SEKARANG! dikesempatan ini, moga saja dapat menambah informasi serta wawasan Sobat semuanya. Wookey, kita ketemu lagi di artikel berikutnya ya?.

Telah selesai dibaca: DIALOG EKSTREM DENGAN TERORIS, SEKARANG! link yang gunakan: https://cepotpost.blogspot.com/2018/05/dialog-ekstrem-dengan-teroris-sekarang.html

Subscribe to receive free email updates: