Judul : Alexander Jacob Patty
link : Alexander Jacob Patty
Alexander Jacob Patty
Sekali lagi AJ. Patty bertemu dengan Kayadoe di rumah makan yang sama pada 28 November 1923. AJ Patty menanyakan apa yang dibicarakan dalam Ambonraad (Dewan Ambon). Meski AJ. Patty sudah mengetahui kalau Ambonraad yang terdiri dari raja, guru dan elit Ambon itu sedang menyoroti tulisan AJ. Patty di Mena Moeria yang mengkritik Ambonraad, karena tidak berfungsi membela rakyat dan memberikan masukan kepada penguasa. Ambonraad mestinya bersuara memberikan masukan kepada penguasa. Tetapi, Kayadoe mengatakan mereka itu tidak seperti itu. Jadi, tidak bisa diharapkan.
Tulisan tajam AJ. Patty itu menimbulkan ketidaksukaan, sehingga Ambonraad mengeluarkan komunike untuk merespon tulisan AJ. Patty yang dianggap menyalahi tradisi pada masa itu. Kayadoe menilai sikap dan pikiran AJ. Patty sangat bagus, tetapi memang tidak mudah diterima pada masa itu.
Kayadoe merespon kekecewaan AJ. Patty dengan mengatakan, “Pohon Sagu kalau sudah ditanam, tanpa diapa-apakan akan tetap tumbuh besar dan menghasilkan”. Kurang lebih berarti apa yang sudah dilakukan AJ. Patty pada akhirnya akan berguna bagi banyak orang. Hal ini memperlihatkan pikiran AJ. Patty mengenai lembaga perwakilan yang jauh melapaui zamannya.
Kedekatan AJ. Patty dengan rakyat terbukti dengan terpilih sebagai anggota Ambonraad pada Agustus 1924. Hanya saja, meski sudah mendapat jabatan yang bagus, AJ. Patty terus bergerak dan memilih untuk melakukan penyadaran dan gerakan di rakyat. Akibatnya, pada 15 Oktober 1924, AJ Patty ditangkap karena sebuah insiden di Ambon.
Gerakan AJ. Patty dianggap mengganggu kenyaman penguasa Belanda. Selain itu, tulisan AJ. Patty di Mena Moeria berjudul “Hiduplah Gunung Frikadel” sangat mengganggu Belanda, karena Gunung Frikadel atau Gunung Saniri di Saparua merupakan tempat rapat rahasia Thomas Matulessy (Pattimura) untuk berperang melawan Belanda.
Sikap AJ Patty yang juga dianggap mengganggu mengenai perayaan Ulang Tahun Ratu Wilhelmina yang jatuh pada setiap 31 Oktober. AJ. Patty tak segan melawan pandangan yang menganggap Ratu Wilhelimina sebagai ratu orang Maluku. AJ. Patty menegaskan, “Ratu Wilhelimina merupakan Ratu Belanda, bukan ratu kita”.
Watak radikal terhadap Belanda ini menyebabkan elit lokal di Ambon mengeluarkan mosi kepada Residen Ambon, Van Sandick untuk mengeluarkan AJ. Patty dari Ambon. Residen setuju dengan mosi itu, AJ. Patty dikirim ke Makassar untuk diadili pada 18 dan 19 November 1924. AJ Patty diasingkan ke Bengkulu, Sumatera pada tahun itu juga.
Sepeninggal AJ. Patty, Sarekat Ambon dipimpin dr. J. Kayadoe. Nanti menjelang kemerdekaan, tepatnya pasa masa penjajahan Jepang, J. Kayadoe meninggal Agustus 1943 setelah mendapat siksaan dari Jepang. Di kemudian hari, Sarekat Ambon dikembangkan Mr. Johannes Latuharhary pada tahun 1928. Di bawah kepemimpinan Latuharhary, Sarekat Ambon memindahkan pusat gerakan dari Semarang ke Surabaya. Selain itu, Serikat Ambon meninggalkan karakter radikal, karena memilih untuk bersikap moderat. Di kemudian hari, Mr. Latuharhary dan Dr. J. Leimena tampil sebagai tokoh nasional asal Maluku.
Pengasingan
Setelah diadili di Makassar, dan dibuang ke Bengkulu, rupanya AJ Patty tidak tinggal diam karena terus menyebarkan ide untuk melawan penjajahan. Dari Bengkulu, AJ. Patty dibuang ke Ruteng—tempat sejuk di Manggarai, Flores pada tahun 1930.
Dalam catatan kaki tulisan Daniel Dhakidae di Prisma tertulis “AJ Patty mengeluhkan sangat jarangnya bantuan dari kawan seperjuangan, hanya sekali datang, sehingga dia harus menjual celana dan bajunya untuk membiayai kelahiran anak perempuannya yang kemudian diberi nama ‘Rutengina’ dan mengeluhkan toko-toko tidak bersedia memberikan kredit kepadanya”.
Dhakidae sebenarnya ingin menggambarkan, Bung Karno bukan yang pertama diasingkan ke Flores (Ende) sebagai tempat pengasingan Bung Karno. Bung karno diasingkan di Ende selama empat tahun (1934-1938), kemudian dibuang ke Bengkulu. Namun, pengasingan Bung Karno di Ende tidak semiris AJ. Patty, karena Bung Karno masih mendapat imbalan 150 gulden dari pemerintah kolonial Belanda. (Prisma, 2013)
Dari Digul ke Australia
Dari Ruteng, AJ. Patty kembali harus dibuang ke tempat yang lebih terisolir lagi. Boven Digul. Pembuangan AJ. Patty ke Digul pada tahun 1932 atau lebih duluan dibanding Bung Hatta dan Sjahrir. Di Tanah Merah, Digul, sesuai catatan Mohamad Bondan dalam Memoar Seorang Digulis, AJ. Patty memilih menjadi pekerja di rumah sakit Tanah Merah sebagai juru rawat. Dia tinggal di seberang rumah sakit. AJ. Patty menghabiskan masa sebagai tahanan politik dari 1932 sampai 1943, sebelum Belanda mengirim tahanan Digul ke Australia.
Perpindahan tahanan politik Digul itu menyusul pecahnya perang Dunia II. Wilayah Hindia Belanda dikuasai Jepang, sehingga sebagian tahanan di Digul dipindahkan ke Cowra, Australia. Belanda melakukan ini untuk menghindari tahanan bekerjasama dengan Jepang untuk melawan Belanda.
Molly Bondan—isteri eks Digulis, Mohamad Bondan menulis dalam Spanning A Revolution, tidak lama setelah di Camp Cowra, tahanan dari Digul memilih pemimpin, yakni Ali Siregar sebagai ketua. AJ. Patty, Yahya Nasution dan Abdul Kadir sebagai wakil ketua. Keempat tokoh inilah yang menyelundupkan surat kladenstein ke Partai Buruh Australia Cabang Cowra.
Upaya keempat tokoh ini tidak sia-sia, karena pada akhirnya perwakilan pemerintah australia dari Departemen Kesehatan, Departemen pertahanan dan Departemen Perburuhan mendatangi camp Cowra. Molly menulis keempat orang ini tidak kesulitan dalam berkomunikasi karena menguasai Bahasa Inggris. Hasilnya, enam bulan setelah di camp, para tahanan politik di kirim ke berbagai tempat yang lebih layak di Australia, seperti di Mackay, Queensland.
Di Mackay ini, para tahanan politik cukup leluasa untuk mencari dukungan bagi perjuangan melawan Belanda. Dukungan ini datang dari The Communist Party of Australia (CPA). Namun, Molly menulis, meski Komite Kemerdekaan Indonesia didukung CPA, tetapi ketiga tokoh ini, AJ Patty, Yahya Nasution dan Kadirun merupakan pimpinan dan anggota Partai Kebangsaan Indonesia (Parki), bukan PKI.
Harry A Poeze dalam Tan Malaka: Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia, mencatat, AJ. Patty bersama Djamaluddin Tamin, Yahya Nasution, dan Malelo Siregar tiba di Indonesia dari Australia pada 13 Maret 1946. Rupanya, AJ. Patty tidak perlu lama untuk beradaptasi, karena tetap terlibat dalam politik untuk Indonesia yang baru merdeka. Harry Poeze menulis, “Patty seorang asal Ambon yang berpengaruh besar, hendak mengembangkan kegiatannya di tengah-tengah saudara-saudara sedaerahnya di Jakarta, agar melepaskan diri dari Belanda dan mengajak mereka mendukung republik”. (bersambung)
Penulis adalah Direktur Archipelago Solidarity Foundation dan Pendiri/Pendiri dam Pemimpin Umum Majalah Laras
Sobat baru saja selesai membaca :
Alexander Jacob Patty
Cepot rasa sudah cukup pembahasan tentang Alexander Jacob Patty dikesempatan ini, moga saja dapat menambah informasi serta wawasan Sobat semuanya. Wookey, kita ketemu lagi di artikel berikutnya ya?.
Telah selesai dibaca: Alexander Jacob Patty link yang gunakan: http://cepotpost.blogspot.com/2017/04/alexander-jacob-patty_11.html