Judul : TNI-Polri Merupakan Akar/Jantung Persoalan Kekerasan dan Kejahatan Kemanusiaan di Papua Sejak 1 Mei 1963
link : TNI-Polri Merupakan Akar/Jantung Persoalan Kekerasan dan Kejahatan Kemanusiaan di Papua Sejak 1 Mei 1963
TNI-Polri Merupakan Akar/Jantung Persoalan Kekerasan dan Kejahatan Kemanusiaan di Papua Sejak 1 Mei 1963
Tentara Indonesia (TNI) menyelimuti warga ketika melakukan aksi protes atas peristiwa rasisme Papua di Mimika, Papua, Rabu (21/8/2019). Antara - Sevianto Pakiding |
A. PENDAHULUAN
"...Tentara yang telah diutus merupakan kelompok yang cukup mengerikan. Seolah-olah di Jakarta mereka begitu saja dipungut dari pinggir jalan. Mungkin benar-benar demikian." (Pastor Frans Leishout, OFM).
“Ada kesan bahwa orang-orang Papua mendapat perlakuan seakan-akan mereka belum diakui sebagai manusia. Kita teringat pembunuhan keji terhadap Theys Eluay dalam mobil yang ditawarkan kepadanya unuk pulang dari sebuah resepsi Kopassus.”
“Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media asing. Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia.” (hal.255).
“…kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab, sebagai bangsa yang biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata tajam.” (hal.257). (Sumber: Franz: Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme Bunga Rampai Etika Politik Aktual, 2015).
Pastor Frans Lieshout memberikan kesaksian tentang pengalaman hidupnya sebagai berikut:
"Pada tanggal 1 Mei 1963 datanglah orang Indonesia. Mereka menimbulkan kesan segerombolan perampok. Tentara yang telah diutus merupakan kelompok yang cukup mengerikan. Seolah-olah di Jakarta mereka begitu saja dipungut dari pinggir jalan. Mungkin benar-benar demikian."
( Sumber: Pastor Frans Lieshout OFM: Gembala dan Guru Bagi Papua, 2020, hal. 593).
Pastor Frans Leishout,OFM melayani di Papua selama 56 tahun sejak tiba di Papua pada 18 April 1969 dan kembali ke Belanda pada 28 Oktober 2019. Pastor Frans dalam surat kabar Belanda De Volkskrant ( Koran Rakyat) diterbitkan pada 10 Januari 2020, menyampaikan pengalamannya di Tanah Papua.
" Saya sempat ikut salah satu penerbangan KLM yang terakhir ke Hollandia, dan pada tanggal 1 Mei 1963 datanglah orang Indonesia. Mereka menimbulkan kesan segerombolan perampok. Tentara yang telah diutus merupakan kelompok yang cukup mengerikan. Seolah-olah di Jakarta mereka begitu saja dipungut dari pinggir jalan. Mungkin benar-benar demikian."
"Saat itu saya sendiri melihat amukan mereka. Menjarah barang-barang bukan hanya di toko-toko, tetapi juga di rumah-rumah sakit. Macam-macam barang diambil dan dikirim dengan kapal itu ke Jakarta. Di mana-mana ada kayu api unggun: buku-buku dan dokumen-dokumen arsip Belanda di bakar." (2020: hal. 593).
Pastor Frans menggambarkan tentang siapa sebenarnya Indonesia. "Wajah Indonesia dari semula wajah sebuah kuasa militer." (hal. 594).
Amirudin al Rahab membenarkan dan memperkuat, "...orang-orang Papua secara perlahan, baik elite maupun jelata juga mulai mengenal Indonesia dalam arti sesungguhnya. Singkatnya dalam pandangan orang Papua, ABRI adalah Indonesia, Indonesia adalah ABRI." (Sumber: Heboh Papua, 2010, hal.43.
Dalam laporan bulanan Dewan Gereja Papua (WPCC) pada 5 Juli 2020 yang berjudul: "OTSUS PEMBAMGUNAN INDONESIA UNTUK KESEJAHTERAAN RAKYAT PAPUA SUDAH MATI", diuraikan perilaku dan wajah penguasa Indonesia.
"Begitu mendapat tempat di Papua setelah UNTEA tanggal 1 Mei 1963, para elit yang menampakkan kekuatannya dan membakar semua buku, dokumen-dokumen, jurnal dan semua tulisan tentang Sejarah, etnografi, penduduk, pemerintahan, semua dibakar di depan orang banyak di halaman Kantor DPRP sekarang di Jayapura" (Lihat, Acub Zainal dalam memoarnya: I Love the Army).
Brigadir Jend. Acub Zaenal (PANGDAM 17 TRIKORA kala itu, dan Gubernur Irian Barat ) dalam Testimoninya : " Betapa malunya saya semua rumah di Jayapura dan Biak, para pendatang itu menjarah kursi, lemari,kulkas es, tempat tidur, kain Gordyn, karpet. Dan yang lebih memalukan adalah mereka mencongkel grandle pintu ikut dicuri."
"Pada awal Juni 1963 banyak putra dan putri Irian Barat yang Pegawai Negeri dihentikan dan digeser dan digantikan oleh petinggi Indonesia yang baru datang. Di Jayapura dan Biak perampokan yang dilakukan para pendatang yang masuk ke rumah-rumah pegawai dan menjarah barang-barang berupa: pesawat radio, radio, tempat tidur dan lemari es, pakaian bahkan hasil-hasil kebun mereka ambil dan bawa pergi. Ini terjadi beberapa kota di Papua sejak Mei sampai Juni 1963." (Sumber: Resolusi Partai Nasional Indonesia (PNI) Daerah Irian Barat, 6 Juni 1963, No.2/PN-II/1973).
"Mereka mendatangi ke rumah-rumah yang baru ditinggalkan petinggi pemerintah Belanda dan kantor-kantor pemerintah, mengambil/merampok semua barang-barang dari rumah-rumah dan kantor-kantor peninggalan Belanda, kemudian dinaikkan ke mobil/truk yang sudah diparkir untuk dibawa keluar Papua. Setelah merampok barang-barang dari rumah dan kantor pemerintah Belanda, kloter/rombongan lain masuk lagi ke rumah-rumah para pegawai orang Papua: di kota Biak, Kotabaru (Jayapura) para elit Indonesia ambil barang-barang dan mereka bawa unruk dikirim keluar Papua. Belakangan Presiden Soekarno sendiri menyampaikan teguran lewat pidato Dwwan Pengurus Partai Nasional."
(Sumber: Resolusi Partai Nasional Indonesia (PNI) Dalam Rapat Dewan Daerah ke I tanggal 9 Djuni 1963).
Peristiwa lain, "pada bulan April 1963, Adolof Henesby Kepala Sekolah salah satu Sekolah Kristen di Jayapura ditangkap oleh pasukan tentara Indonesia. Sekolahnya digebrek dan cari simbol-simbol nasional Papua, bendera-bendera, buku-buku, kartu-kartu, sesuatu yang berhubungan dengan budaya orang-orang Papua diambil. Adolof Henesby dibawa ke asrama tentara Indonesia dan diinterogasi tentang mengapa dia masih memelihara dan menimpan lambang-lambang Papua" (TAPOL, Buletin No.53, September 1982).
"Pembakaran besar-besaran tentang semua buku-buku teks dari sekolah, sejarah dan semua simbol-simbol nasionalisme Papua di Taman Imbi yang dilakukan ABRI (sekarang:TNI) dipimpin oleh Menteri Kebudayaan Indonesia, Mrs.Rusilah Sardjono."
Presiden Republik Indonesia, Ir. Sukarno mengeluarkan Surat Larangan pada Mei Nomor 8 Tahun 1963.
"Melarang/menghalangi atas bangkitnya cabang-cabang Partai Baru di Irian Barat. Di daerah Irian Barat dilarang kegiatan politik dalam bentuk rapat umum, demonstrasi-demonstrasi, percetakan, publikasi, pengumuman-pengumulan, penyebaran, perdagangan atau artikel, pemeran umum, gambaran-gambaran atau foto-foto tanpa ijin pertama dari gubernur atau pejabat resmi yang ditunjuk oleh Presiden."
Perampokan dan penjarahan yang dilakukan militer Indonesia digambarkan Djopari sebagai berikut.
"...Belanda waktu berangkat meninggalkan Irian Barat, meninggalkan segala sesuatu yang merupakan sarana umum dan milik pribadi kepada pemerintah setempat serta kenalan atau bawahannya. Dalam hal ini adalah berbagai perlengkapan militer di asrama-asrama militer, perlengkapan di kantor-kantor pemerintah, sarana-sarana di lapangan terbang dan pelabuhan, perlengkapan rumah dinas lengkap dan rumah-rumah pribadi lengkap. Setelah tanggal 1 Mei 1963 masyarakat di kota-kota Jayapura, Biak Manokwari dan Sorong menyaksikan berbagai fasilitas untuk digunakan di Irian Jaya itu diangkut ke daerah Indonesia lain menggunakan transportasi yang ada apakah itu tempat tidur, kasur, mesin cuci, kaca nako, wash tafel, oven, sepeda, vesva, kipas angin, tangga pesawat terbang di lapangan terbang internasional Mokmer Biak, dan dok apung di Manokwari." (Djopari, 1993, hal.83, baca: Yoman, Pintu Menuju Papua Merdeka: 2001, hal.49).
Filep Karma dalam bukunya: "Seakan Kitorang Setengah Manusia" mengatakan:
"...Mereka (baca: Indonesia) memandang, menganggap dan memperlakukan orang Papua sebagai setengah manusia, tidak diakui sebagai manusia pada umumnya."
"Kemudian terjadi perampasan hak-hak orang Papua, antara lain tanah, posisi di pemerintahan, atau pun perusahaan-perusahaan swasta, yang dimiliki orang Papua. Perusahaan-perusahaan itu kadang-kadang diambil alih."
"Contoh, dulu di Papua, ada perusahaan Nieuwnhuijs, yang dimiliki keluarga saya, Rumpaisum itu diambil alih oleh orang asal Manado. Sekarang perusahaan itu milik mereka, bergerak dalam ekspedisi muatan kapal laut."
Kesakasian anak kandung Rumpaisum pada 15 Agustus 2020 kepada penulis sebagai berikut.
"Cerita tentang Ekspedisi Niewenhuijz atau Varuna pura itu benar yang memimpin Direktur Utama adalah papa kandung saya, yaitu Max Fredinand Rumpaisun tinggal di Jl Percetakan No 2 Jayapura, yg sekarang Bank Indonesia. Saya pun merasakan ketidakadilan Indonesia. Rumah kami di rampas oleh Swaja dengan memutar balik fakta akte tanah, di tahun 1979. Saat itu saya kelas 2 SD dan papa saya ada di Jakarta persiapan ke Belanda. Dan tanah papa saya juga yang sekarang kompleks PLN di dekat bandara Sentani pun dirampas sekitar 2,5 hektar.
Walaupun saat itu saya baru berusia 8 tahun lebih. Tetapi terasa kekejaman militer saat kami dipaksa keluar dari rumah di jl percetakan. Akhir cerita papa saya terpaksa pulang dari Jakarta padahal 3 hari lagi beliau sudah berangkat ke Belanda, dengan harapan dua perkara ini selesai tetapi ternyata papa kalah. Bayangkan saya terbiasa hidup mewah lama kelamaan hidup susah.Tetapi, papa selalu menanamkan bahwa itu hanya harta dunia. Carilah kerajaan Allah maka segalanya akan didapatkannya. Amin. Dengan campur tangan Allah Bapak di sorga saat ini saya sudah menjadi seorang anak terdidik."
"Contoh lain, di Jayapura, di Jalan Irian-kalangan pejuang sebut Jalan Merdeka-hampir semua toko yang dimiliki orang Papua pada tahun 1960-an, sekarang bukan orang Papua lagi. Toko-toko tersebut sudah berpindah tangan kepada non-Papua. Diambil alih dengan cara kasar. Kadang dengan menuduh orang Papua tersebut OPM, maka saat itu ditangkap, semua asetnya berpindah tangan ke non-Papua."
"Contoh lain lagi. Sebuah pompa bensin Samudera Maya di Dok V Bawah, Jayapura, milik seorang Belanda. Ketika Belanda pulang, sekitar tahun 1961 dan 1962, pemiliknya menyerahkan pompa bensin kepada Herman Wayoi, lengkap dengan semua surat-surat hak kepemilikan dan izin usaha. Sewaktu masuk tentara Indonesia, pomba bensin tersebut diambil paksa dari Herman Wayoi. Dia dituduh OPM, ditahan oleh militer, lalu tanpa sidang, beliau dipenjara dalam penjara militer beberapa tahun. Perusahaan tersebut tetap jadi milik Angkatan Darat." (Karma, 2015, hal.7-8, baca: Melawan Rasisme Dan Stigma di Tanah Papua, 2020, hal.220)
Lazarus Sawias menggambarkan kehidupan orang Asli Papua sebelum Indonesia menduduki dan menjajah Papua.
"Kita pernah punya perusahaan pengadaan kayu di Manokwari untuk mensupplay kebutuhan kayu buat rumah-rumah di Papua. Di sini juga ada galangan atau doking kapal terbesar di Pasifik Selatan. Di sini, di New Guinea, sekarang West Papua, tepatnya di Hamadi ada sekolah Zeevaart (Sekolah Pelayaran) pemuda-pemudi dari Pasifik Selatan menimba ilmu di sekolah ini. Kita juga punya Rumah Sakit di Dok 2 Hollandia (Jayapura) termewah dan terlengkap di Pasifik Selatan, pasien-pasien dari Pasifik Selatan dapat dirujuk di Rumah Sakit ini. Semuanya hancur setelah Indonesia menduduki dan menjajah Papua." (Yoman:2020,hal.221).
Pada tahun 1965-1968 di Saosapor, Werur, Kwoor dan Fev, Tambrauw, pasukan ABRI memotong leher orang dan membawa kepala itu keliling seluruh kampung untuk teror dan intimidasi orang asli Papua supaya dalam Pepera 1969 memilih Indonesia. Bahkan di Sorong ABRI menembak mati Otniel Safkaur, Abner Asmuruf, Yohanes Kareth, Kristian Kareth, Saul Kareth, Kalep Jepse, Kosmos Nauw, Adam Kambuaya, Elia Kambuaya, Musa Keba, Adam Korain, Howard Jitmau dan Sehu Jitmau dan masih banyak lagi di seluruh Tanah Papua.
B. ABRI MENGHANCURKAN MASA DEPAN ORANG ASLI PAPUA DALAM PEPERA 1969
Pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 14 Juli - 2 Agustus 1969, rakyat dan bangsa West Papua tidak ikut terlibat memilih menjadi bagian dari Indonesia. Karena dari jumlah penduduk orang asli Papua 809.337 orang pada saat Pepera 1969. Dari jumlah penduduk ini ABRI (kini:TNI) memilih dan menyeleksi 1 025 orang.
Berarti orang asli Papua yang tidak pernah ikut berpartisipasi dan memilih untuk tinggal dengan Indonesia sebanyak 808.332 orang dalam proses Pepera pada 14 Juli-2 Agustus 1969. Perlu ditegaskan bahwa 1.025 orang adalah pilihan ABRI bukan pilihan orang asli Papua. Peserta Dewan Musyawarah Pepera (DMP) berada dibawah teror, intimidasi dan tekanan moncong senjata ABRI.
Dalam proses dimasukkannya Papua ke dalam wilayah Indonesia, militer Indonesia memainkan peran sangat besar dalam proses pelaksanaan dan sesudah Pepera 1969. Berbagai dokumen militer telah menunjukkan hal ini. Salah satunya adalah Surat Telegram Resmi Kol. Inf. Soepomo, Komando Daerah Militer XVII Tjenderawasih Nomor: TR-20/PS/PSAD/196, tertanggal 20-2-1967, berdasarkan Radio Gram MEN/PANGAD No.: TR-228/1967 TBT tertanggal 7-2-1967, perihal: menghadapi referendum di IRBA tahun 1969.
Dikatakan di sana, “Mempergiatkan segala aktivitas di masing-masing bidang dengan mempergunakan semua kekuatan material dan personil yang organik maupun yang B/P-kan baik dari Angkatan darat maupun dari lain angkatan. Berpegang teguh pada pedoman. Referendum di IRBA tahun 1969 harus dimenangkan, harus dimenangkan. Bahan-bahan strategis vital yang ada harus diamankan. Memperkecil kekalahan pasukan kita dengan mengurangi pos-pos yang statis. Surat ini sebagai perintah OPS untuk dilaksanakan. Masing-masing koordinasi sebaik-baiknya. Pangdam 17/PANG OPSADAR”.
Surat Rahasia Kolonel Infateri Soemarto yang diterbitkan Surat Kabar Nasional Belanda, NRC Handdelsblad, 4 Maret 2000. “Pada tahun 1969 Pemerintah Indonesia memanipulasi Pepera (Act of Free Choice) tentang status resmi Dutch New Guinea (Irian Jaya). Dengan seluruhnya berarti, wajar atau tidak wajar, Jakarta menginginkan untuk menghalangi orang-orang asli Papua dalam pemilihan melawan bergabung dengan Indonesia. Ini tampak dari yang disebut dengan “perintah rahasia” dalam bulan Mei 1969 yang diberikan oleh Soemarto, Komandan orang Indonesia di Merauke, bupati daerah itu…”(Sumber: Dutch National Newspaper: NRC Handdelsbald, March 4, 2000).
Laporan Hugh Lunn, wartawan Australia, menyatakan, “Di Manokwari, sementara dewan memberikan suara, pemuda-pemuda Papua dari luar ruang pertemuan bernyanyi lagu gereja “sendiri, sendiri”. Untuk menangani ini tentara orang-orang Indonesia menangkap dan melemparkan mereka dalam mobil dan membawa mereka pergi pada satu bak mobil. Hugh Lunn, wartawan asing yang hadir, diancam dengan senjata oleh orang Indonesia sementara di mengambil foto demonstrasi orang Papua” (Dr. John Saltford: Irian Jaya: United Nations Involment With The Act of Self-Determination In West Papua (Indonesia West New Guinea) 1968-1969 mengutip laporan Hugh Lunn, seorang wartawan Australia, August 21, 1999).
Menurut Amiruddin al Rahab: "Papua berintegrasi dengan Indonesia dengan punggungnya pemerintahan militer." (Sumber: Heboh Papua Perang Rahasia, Trauma Dan Separatisme, 2010: hal. 42).
Apa yang disampaikan Amiruddin tidak berlebihan, ada fakta sejarah militer terlibat langsung dan berperan utama dalam pelaksanaan PEPERA 1969. Duta Besar Gabon pada saat Sidang Umum PBB pada 1989 mempertanyakan pada pertanyaan nomor 6: "Mengapa tidak ada perwakilan rahasia, tetapi musyawarah terbuka yang dihadiri pemerintah dan militer?"
(Sumber: United Nations Official Records: 1812th Plenary Meeting of the UN GA, agenda item 108, 20 November 1969, paragraf 11, hal.2).
"Pada 14 Juli 1969, PEPERA dimulai dengan 175 Anggota Dewan Musyawarah untuk Merauke. Dalam kesempatan itu kelompok besar tentara Indonesia hadir..." (Sumber: Laporan Resmi PBB Annex 1, paragraf 189-200).
Hak politik rakyat dan bangsa West Papua benar-benar dikhianati. Hak dasar dan hati nurani rakyat West Papua dihancurkan dengan moncong senjata militer Indonesia, walaupun fakta bahwa pada bulan Juni 1969, Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia mengakui kepada anggota Tim PBB, Ortiz Sanz, secara tertutup (rahasia): “bahwa 95% orang-orang Papua mendukung gerakan kemerdekaan Papua” (Sumber: Summarey of Jack W. Lydman’s report, July 18, 1969, in NAA, Extracts given to author by Anthony Bamain).
Duta Besar RI, Sudjarwo Tjondronegoro mengakui: "Banyak orang Papua kemungkinan tidak setuju tinggal dengan Indonesia." (Sumber: UNGA Official Records MM.ex 1, paragraf 126).
Dr. Fernando Ortiz Sanz melaporkan kepada Sidang Umum PBB pada 1969:
"Mayoritas orang Papua menunjukkan berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan mendukung pikiran mendirikan Negara Papua Merdeka." (Sumber: UN Doc. Annex I, A/7723, paragraph 243, p.47).
Keterlibatan Militer Indonesia juga diakui oleh Sintong Panjaitan dalam bukunya: Perjalanan Seorang Prajurit Peran Komando:
"Seandainya kami (TNI) tidak melakukan operasi Tempur, Teritorial, Wibawa sebelum Pepera 1969, pelaksanaan Pepera di Irian Barat dapat dimenangkan oleh kelompok Papua Merdeka." (2009:hal.169).
Dari fakta-fakta kekejaman dan kejahatan ini, Amiruddin menggambarkan ini dengan sangat tepat dan indah, sebagai berikut:
"Kehadiran dan sepak terjang ABRI yang kerap melakukan kekerasan di Papua kemudian melahirkan satu sikap yang khas di Papua, yaitu Indonesia diasosiasikan dengan kekerasan. Untuk keluar dari kekerasan, orang-orang Papua mulai membangun identitas Papua sebagai reaksi untuk menentang kekerasan yang dilakukan oleh para anggota ABRI yang menjadi repesentasi Indonesia bertahun-tahun di Papua. ...Orang-orang Papua secara perlahan, baik elit maupun jelata juga mulai mengenal Indonesia dalam arti sesungguhnya. Singkatnya, ABRI adalah Indonesia, Indonesia adalah ABRI." (hal. 43).
Dr. Fernando Ortiz Sanz melaporkan: “…pandangan dan keinginan politik orang-orang Papua telah disampaikan melalui berbagai saluran media: pernyataan-pernyataan dan komunikasi lain disampaikan kepada saya secara tertulis atau lisan, demonstrasi-demonstrasi damai, dan dalam beberapa masalah menyatakan kegelisahan atau ketidakamanan, termasuk peristiwa-perstiwa sepanjang perrbatasan antara Irian Barat dan wilayah Papua New Guinea yang diurus oleh Australia” (Sumber resmi: UNGA, Annex I A/7723, 6 November 1969, paragraph 138, p. 45).
“Pernyataan-pernyataan (petisi-petisi) tentang pencaplokan Indonesia, peristiwa-peristiwa ketegangan di Manokwari, Enarotali, dan Waghete, perjuangan-perjuangan rakyat bagian pedalaman yang dikuasasi oleh pemerintah Australia, dan keberadaan tahanan politik, lebih dari 300 orang yang dibebaskan atas permintaan saya, menunjukkan bahwa tanpa ragu-ragu unsur-unsur penduduk Irian Barat memegang teguh berkeinginan merdeka. Namun demikian, jawaban yang diberikan oleh anggota dewan musyawarah atas pertanyaan yang disampaikan kepada mereka adalah sepakat tinggal dengan Indonesia” ( Sumber resmi: UNGA Annex IA/7723, paragraph 250, hal. 70).
Baca juga:
- Artikel Sejarah: Pepera 1969 di Papua Dimenangkan oleh ABRI (sekarang; TNI-Polri)
- Artikel 1 Mei 1969: Indonesia Menduduki dan Menjajah West Papua - Pepera 1969 yang Cacat Hukum Internasional
Berhubungan dengan pelaksanaan Pepera 1969 yang penuh pembohongan itu, Dr. Fenando Ortiz Sanz, perwakilan PBB, yang mengawasi pelaksanaan Pepera 1969 melaporkan sebagai berikut.
“Saya harus menyatakan pada permulaan laporan ini, ketika saya tiba di Irian Barat pada bulan Agustus 1968, saya diperhadapkan dengan masalah-masalah yang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan dalam Perjanjian New York Pasal XVI. Lebih dulu ahli-ahli PBB yang ada tinggal di Irian Barat pada saat peralihan tanggungjawab administrasi secara penuh kepada Indonesia ditiadakan, mereka tidak mengenal keadaan secara baik, mempersingkat tugas-tugas mereka.
Akibatnya, fungsi-fungsi dasar mereka untuk menasihati dan membantu dalam persiapan untuk mengadakan ketentuan-ketentuan Penentuan Nasib Sendiri tidak didukung selama masa 1 Mei 1963-23 Agustus 1968. Atas kehadiran saya di Irian Barat, untuk tujuan misi saya, saya telah memulai dengan mengumpulkan, mencoba untuk memenuhi dalam beberapa bulan dengan staf yang terbatas tidak seimbang dengan wilayah yang luas, fungsi-fungsi penting dan kompleks di bawah Perjanjian New York XVI hendaknya dilaksanakan selama 5 (lima) tahun dengan sejumlah ahli” (Sumber resmi: UN Doc. Annex I A/7723, paragraph 23, p.4)
“Saya dengan menyesal harus menyatakan pengamatan-pengamatan saya tentang pelaksanaan Pasal XXII (22) Perjanjian New York, yang berhubungan dengan hak-hak termasuk hak-hak kebebasan berbicara, kebebasan bergerak, kebebasan berkumpul, penduduk asli. Dalam melakukan usaha-usaha yang tetap, syarat-syarat yang penting ini tidak sepenuhnya dilaksanakan dan pelaksanaan administrasi dalam setiap kesempatan diadakan pengawasan politik yang ketat terhadap penduduk pribumi.” ( Sumber: Laporan Resmi Hasil Pepera 1969 Dalam Sidang Umum PBB, Paragraf 164, 260).
Dr. Fernando Ortiz Sanz dalam laporan resminya dalam Sidang Umum PBB tahun 1969 menyatakan: “ Mayoritas orang Papua menunjukkan berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan mendukung pikiran mendirikan Negara Papua Merdeka” (Sumber: UN Doc. Annex I, A/7723, paragraph, 243, p.47).
Piter Sirandan saksi sejarah yang dikirim oleh Pemerintah Indonesia untuk memenangkan Pepera 1969, pada awal Desember 2009, setelah membaca buku penulis: "Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat (2007), memberikan kesaksian:
"Pak Yoman, setelah saya membaca buku-buku pak Yoman, saya sangat menyesal. Saya dulu telah menjadi Yudas karena saya ditugaskan oleh Negara untuk mengawasi orang-orang Asli Papua. Saya menangis dan mencucurkan air mata karena saya mengkhianati orang-orang Asli Papua. Saya ditugaskan oleh negara untuk memenangkan Pepera 1969 dan mempertahankan Irian Barat."
"Saya tiba di Jayapura, 1 Desember 1964. Saya menyaksikan ABRI menembak mati Elly Uyok di Bioskop Rex (sekarang: Kantor Pos Jayapura). Saya ikut angkat mayat itu dan darahnya tampias ke baju saya."
"Kami mengetahui bahwa pada waktu pelaksanaan Pepera 1969 itu, orang-orang Papua benar-benar mau merdeka. Saya mengetahui bahwa 100% orang Papua mau merdeka. Impian dan harapan mereka, benar-benar kami hancurkan."
"Saya yang memegang uang banyak waktu itu dan membayar kepada orang-orang yang mencabut tulisan: "One Man One Vote" yang akan dilewati Ortiz Sanz dan digantikan dengan tanam "Bendera Merah Putih."
"Pada waktu itu, saya mendapat hadiah uang sebesar Rp 7.000.000; ( tujuh juta) dari pemerintah Indonesia karena saya dianggap berhasil menipu orang Papua dan memenangkan Pepera 1969. Karena itu, sekarang saya sangat mendukung perjuangan orang Papua untuk merdeka."
(Sumber: Yoman, Integrasi Belum Selesai, 2010, hal. 91-92).
C. WAJAH MILITER DAN KEPOLISIAN DALAM ERA OTONOMI KHUSUS
Kekejaman penguasa Indonesia terbukti dengan operasi militer Indonesia di Nduga-Papua atas perintah Negara. Presiden Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo memberikan perintah untuk TNI melaksanakan operasi Desember 2018- 2020.
Presiden Indonesia perintahkan: "Tangkap seluruh pelaku penembakan di Papua. Tumpas hingga akar” (Sumber: DetikNews/5/12/2028).
Presiden juga didukung oleh Wakil Presiden H.Jusuf Kalla dan ia memerintahkan: “Kasus ini ya polisi dan TNI operasi besar-besaran, karena ini jelas mereka, kelompok bersenjata yang menembak.” (Sumber: Tribunnews.com/6/12/2018).
Perintah operasi militer dari Presiden Republik Indonesia didukung oleh Ketua DPR RI Bambang Soesatyo: “…DPR usul pemerintah tetapkan Operasi Militer selain perang di Papua.” (Sumber: Kompas.com/13/12/2018).
Perintah operasi militer diperkuat oleh
Menkopolhukam, H. Dr. Wiranto:
“Soal KKB di Nduga Papua, kita habisi mereka.” (Kompas.com/13/12/2018).
Dalam Otonomi Khusus ada pembangunan Kodim dan Koramil baru di seluruh Tanah Papua. Contoh: Kodim 1714 Puncak Jaya, Kodim 1715 Yahukimo, Batalyon 756 Jayawijaya, Koramil 1715 Kenyam, Nduga dan masih banyak lagi di Tanah Papua dari Sorong-Merauke.
Ada pembangunan beberapa Polres, seperti: Polres Puncak Jaya, Polres Lanny Jaya, Polres Tolikara, Polres Intan Jaya, Polres Yahukimo, Polres dan masih banyak lagi dari Sorong-Merauke.
Polres Puncak yang menelan biaya 13M lebih. Ini sesuai pengakuan Kapolda Papua, Jenderal Pol. Paulus Waterpauw, yang masuk di HP penulis:
"Yth.bp Kapolri, ijin melaporkan saat ini kami bersama Pangdam di Kab Puncak Ilaga dlm rangka laksanakan peresmian Polres Kab Puncak Ilaga yang dibantu anggaran pemda Puncak 13 M lebih sejak tahun 2016, kemarin kami juga telah ikuti peletakkan batu pertama Kodim Puncak Ilaga di Distrik Gome Kab Puncak, dump perkembangan akan dilapkan ksp pertama Kapolda Papua." (Sumber: WashApp Kapolda Papua, 21 Juli 2020).
Pertanyaannya ialah sumber dana dari mana Kodim dan Polres dibangun di setiap kabupaten baru dalam era Otonomi Khisus? Apakah rakyat Papua membutuhkan pembangunan Kodim dan Polres di setiap kabupaten?
Apakah dana 13 M lebih dari pemda Puncak ini berasal dari dana Otonomi Khusus 2001 atau dana APBD atau APDN?
Baca juga:
- Tirani Penguasa Indonesia Menyebabkan Tragedi Kemanusian Selama 59 Tahun, Referendum Papua Diawasi PBB Solusi!
- Papua adalah Luka Membusuk di Tubuh Indonesia
Operasi militer di Kabupaten Nduga pada Desember 2018 sampai 2020, operasi militer terus berlangsung. Akibatnya 205 orang tewas karena ditembak TNI dan mati di tempat pengungsian karena kelaparan. Hampir 37.000 penduduk asli Nduga tinggalkan kampung halaman dan menyelamatkan diri ke Lanny Jaya, Timika, Ilaga dan Jayawijaya.
Pada 20 September 2020 Tentara Nasional Indonesia (TNI) menembak mati Elias Karunggu (40) dan Selu Karunggu (20) di pinggir sungai Kenyem, di kampung Meganggorak, Nduga. Alasannya ayah dan anaknya diduga oleh TNI sebagai anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB).
Pada 19 Desember 2018, TNI menembak mati Pendeta Geyimin Nigiri (83) Tokoh Gereja dan Perintis Gereja Kemah Injil di Kabupaten Nduga. TNI menembak mati dan dibakar jenazah Geyimin dengan menyiram minyak tanah dibelakang halaman rumahnya.
Ada kisah seorang ibu hamil yang sangat menyedihkan dan menyentuh hati nurani kita semua akibat Operasi Indonesia Militer di Nduga.
“Saya melahirkan anak di tengah hutan pada 4 Desember 2018. Banyak orang berpikir anak saya sudah meninggal. Ternyata anak saya masih bernafas. Anak saya sakit, susah bernafas dan batuk berdahak. Suhu di hutan sangat dingin, jadi waktu kami berjalan lagi, saya merasa anak bayi saya sudah tidak bergerak. Kami pikir dia sudah meninggal. Keluarga sudah menyerah. Ada keluarga minta saya buang anak saya karena dikira dia sudah mati.
Tetapi saya tetap mengasihi dan membawa anak saya. Ya, kalau benar meninggal, saya harus kuburkan anak saya dengan baik walaupun di hutan. Karena saya terus membawa bayi saya, saudara laki-laki saya membuat api dan memanaskan daun pohon, dan daun yang dipanaskan itu dia tempelkan pada seluruh tubuh bayi saya. Setelah saudara laki-laki tempelkan daun yang dipanaskan di api itu, bayi saya bernafas dan minum susu.
Kami ketakutan karena TNI terus menembak ke tempat persembunyian kami. Kami terus berjalan di hutan dan kami mencari gua yang bisa untuk kami bersembunyi. Jadi, saya baru tiba dari Kuyawagi, Kabupaten Lanny Jaya. Kami berada di Kuyawagi sejak awal bulan Desember 2018. Sebelum di Kuyawagi, kami tinggal di hutan tanpa makan makanan yang cukup selama beberapa minggu. Kami sangat susah dan menderita di atas tanah kami sendiri.” (Sumber: Suara Papua, 8 Juni 2019).
Dalam operasi militer di Nduga, TNI menembak mati 5 orang sipil pada 20 September 2019 di Gua Gunung Kenbobo, Distrik Inye dan mayat mereka dikuburkan dalam satu kuburan. Nama-nama korban tewas: (1) Yuliana Dorongi (35/Perempuan), (2) Yulince Bugi (25/ Perempuan; (3) Masen Kusumburue (26/ Perempuan; (4) Tolop Bugi (13/ Perempuan; (5) Hardius Bugi (15/L). (Sumber resmi: Theo Hesegem, Yayasan Keadilan dan Perdamaian Keutuhan Manusia Papua).
Baca juga:
Kasus Tolikara, Jumat, 17 Juli 2015 sebanyak 11 orang ditembak aparat keamanan Indonesia dan 10 orang luka-luka 1 orang bernama Endi Wanimbo tewas di tangan aparat keamanan Indonesia.
Dalam kasus ini terbukti rasisme, ketidakadilan dan pelanggaran berat HAM. Rasisme dan ketidakadilan terlihat Panglima TNI, Kapolri, Menteri Sosial datang ke kabupaten Tolikara hanya mengurus orang-orang pendatang di Tolikara, urus kayu-kayu dan senk kios yang terbakar. Karena kios itu digunakan sebagai tempat ibadah (Musolah). Musolah itu terbakar, bukan dibakar. Panglima TNI, Kapolri dan Menteri Sosial Republik Indonesia tidak mempersoalkan 10 orang yang luka-luka akibat ditembak aparat keamanan Indonesia dan 1 orang Endi Wanimbo yang tewas.
D. EMPAT AKAR MASALAH PAPUA
Luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia adalah 4 pokok akar masalah Papua. Pemerintah dan TNI-Polri berusaha keras dengan berbagai bentuk untuk menghilangkan 4 akar persoalan Papua yang dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang tertuang dalam buku Papua Road Map: Negociating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008), yaitu:
- Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;
- Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;
- Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;
- Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.
Kekejaman dan kejahatan Negara Indonesia terhadap OAP selama ini telah melahirkan sikap rakyat Papua dengan lima posisi sebagai berikut:
- AWARENESS (Kesadaran) dari seluruh rakyat dan bangsa West Papua, bahwa penguasa kolonial moderen Indonesia menduduki dan menjajah serta memusnahkan bangsa West Papua;
- DISTRUST (Ketidakpercayaan) terhadap Indonesia;
- DISOBEDIENCE ( Ketidakpatuhan), terhadap Indonesia;
- REJECTION (Penolakan) terhadap Indonesia; danRESISTANCE (Perlawanan) terhadap penguasa Indonesia dari rakyat dan bangsa West Papua.
E. JALAN PENYELESAIAN
Indonesia dan ULMWP duduk setara di meja perundingan damai yang dimediasi pihak ketiga yang netral seperti contoh GAM Aceh dengan Indonesia Helsinki pada 15 Agustus 2005.
Ita Wakhu Purom, 28 Agustus 2020
Penulis:
1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua.
2. Anggota: Dewan Gereja Papua (WPCC).
3. Anggota Baptist World Alliance (BWA).
__________
Sobat baru saja selesai membaca :
TNI-Polri Merupakan Akar/Jantung Persoalan Kekerasan dan Kejahatan Kemanusiaan di Papua Sejak 1 Mei 1963
Telah selesai dibaca: TNI-Polri Merupakan Akar/Jantung Persoalan Kekerasan dan Kejahatan Kemanusiaan di Papua Sejak 1 Mei 1963 link yang gunakan: https://cepotpost.blogspot.com/2020/09/tni-polri-merupakan-akarjantung.html