Judul : Menyikapi Proses Hukum 7 Tapol Rasisme, Ini Pernyataan Pimpinan Umat Beragama Se-Papua
link : Menyikapi Proses Hukum 7 Tapol Rasisme, Ini Pernyataan Pimpinan Umat Beragama Se-Papua
Menyikapi Proses Hukum 7 Tapol Rasisme, Ini Pernyataan Pimpinan Umat Beragama Se-Papua
FOTO: Para pimpinan agama Se-Papua saat melangsungkan Konferensi Pers. |
PERNYATAAN PIMPINAN UMAT BERAGAMA SE-PAPUA
Sekretariat Bersama: Jalan Kabupaten 1, No. 05, APO – Kota Jayapura, Provinsi Papua
Jayapura, 12 Juni 2020
No : 01/P/FPUBS/VI/2020 Jayapura, 12 Juni 2020Lamp : 1 (satu) Berkas
Perihal : Pernyataan Moral Pimpinan Lintas Agama Terhadap Proses Hukum 7 (Tujuh) Terdakwa dalam Persidangan di Pengadilan Negeri Balikpapan
Kepada Yth.
Presiden Republik Indonesia
Ir. H. Joko Widodo
Di –
Jakarta
Shalom
Assalamuallaikum Wr. Wb.
Om Swastiastu
Namo Buddhaya
Salam Kebajikan
Bapak Presiden Republik Indonesia yang kami hormati dan kasihi. Sebagai Pimpinan Lintas Agama Se-Papua, kami menyampaikan apresiasi kepada Bapak Presiden Republik Indonesia atas kepedulian yang tinggi bagi kami di Provinsi Papua. Kami melihat, Presiden demi Presiden belum pernah ada yang mempunyai hati dan kerja nyata untuk Papua seperti Bapak Presiden Republik Indonesia Ir. H. Joko Widodo; ini bukan hanya terbukti lewat kunjungan yang terus di lakukan tetapi juga perkembangan pembangunan infrastruktur yang terus bertumbuh di Papua hingga menjangkau daerah terpencil di seluruh Wilayah Tanah Papua. Namun sayangnya, pembangunan infrastruktur hanya membuka isolasi antar daerah tetapi hati dan kehidupan masyarakat asli Papua belum tersentuh.
Dalam kesempatan ini, kami pun berterima kasih atas kebijaksanaan Bapak Presiden Republik Indonesia sehingga OTSUS telah berjalan dan sebentar lagi akan berakhir. OTSUS yang sebentar lagi akan berakhir ini, masih menyisakan berbagai problem yang di dalamnya termasuk persoalan hukum. Persoalan ini tentu meninggalkan luka dan kekecewaan dibatin orang Papua. Saat ini, berbagai persoalan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang telah terjadi di tanah Papua ternyata tidak pernah dapat terselesaikan, sebagai contoh; kasus Wasior, Wamena, Paniai, Nduga dan Surabaya belum mendapatkan kejelasan dan keadilan secara hukum.
Dalam persidangan di pengadilan, berbagai keputusan hukum tidak berpihak kepada keadilan dan kebenaran. Fakta-fakta hukum yang terbukti di pengadilan tidak dihormati dan keputusan hakim lebih banyak berpihak kepada kebijakan pemerintah dan pihak-pihak yang memiliki modal. Fakta dilapangan, kasus ujaran kebencian dan tindakan rasis yang justru terjadi diluar tanah Papua yang ditujukan kepada para mahasiswa Papua, namun faktanya pelaku ujaran rasis dihukum sangat rendah sedangkan mereka yang menolak perlakuan rasis justru dihukum berat. Hal seperti ini dikhawatirkan akan menghasilkan gejolak yang lebih besar ditengah masyarakat. Oleh sebab itu, sebagai pimpinan lintas agama kami menyatakan:
- Kami menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan dengan tegas menolak berbagai bentuk ketidakadilan dan rasisme. Menurut kami, manusia dalam eksistensinya dihadapan TUHAN dan Konstitusi Negara Republik Indonesia memiliki kedudukan yang setara dalam hak, kewajiban, harkat dan martabat. Semua umat manusia memiliki nilai yang sama sebagai makhluk ciptakan TUHAN yang setara, mulia dan tidak ada perbedaan.
- Berawal dari kasus rasisme di Surabaya yang dilakukan terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Malang, Yogyakarta dan Semarang pada tanggal 15-17 Agustus 2019 oleh organisasi Front Pembela Islam (FPI), Pemuda Pancasila (PP), anggota TNI dan Forum Komunikasi Putra – Putri Purnawirawan TNI (FKKPI) telah memicu aksi protes anti rasisme oleh masyarakat Papua dan berbagai kelompok yang bersolidaritas di seluruh Tanah Papua dan di seluruh Indonesia sejak tanggal 19 Agustus hingga awal September 2019. Persoalan rasisme yang terjadi terhadap mahasiswa Papua telah menciderai kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga Negara harus serius dalam menyelesaikan persoalan rasisme ini.
- Menurut pengamatan kami sebagai pemimpin umat beragama yang harus berdiri secara obyektif, independent dan dalam kapasitas menyuarakan keadilan dan kebenaran; bahwa ke - 7 (tujuh) terdakwa dalam persidangan di Pengadilan Negeri Balikpapan - Kalimantan Timur murni melakukan demonstrasi karena menolak perlakuan rasis. Tetapi dalam dakwaan dan tuntutan di persidangan sangatlah jauh berbeda dengan data dan fakta dilapangan. Mereka korban rasisme tetapi justru dituduh melakukan gerakan makar.
- Kami mengamati bahwa proses hukum terhadap ke - 7 (tujuh) terdakwa dalam persidangan di Pengadilan Negeri Balikpapan - Kalimantan Timur tidaklah prosedural mulai dari penangkapan yang sewenang-wenang, penyiksaan yang terjadi sejak proses penangkapan dan pemeriksaan yang tidak mengedepankan asas praduga tak bersalah dan pemindahan para terdakwa yang dilakukan diluar Papua dimana tidak sesuai dengan tempat terjadinya peristiwa dan tanpa memberitahukan kepada keluarga serta penasihat hukumnya. Pemindahan ini jelas membuat jarak antara tempat kejadian perkara sehingga keluarga terdakwa juga semakin jauh sehingga konsekuensinya berdampak bagi tidak terdapatnya akses bagi keluarga terdakwa lainya dan seluruh rakyat Papua untuk melihat persidangan secara terbuka. Walaupun secara hukum persidangan harus di lakukan secara terbuka.
- Proses hukum ini juga bertambah sulit dengan situasi Pandemi Covid-19 sehingga membuat persidangan dilakukan secara online terhitung mulai awal bulan April 2020. Persidangan secara online ini membuat proses pembuktian tidak dapat dilakukan secara optimal dan obyektif, mulai dari sinyal terganggu, waktu yang tidak tepat, masyarakat umum yang tidak dapat mengakses persidangan secara terbuka – tentu melanggar asas peradilan yang cepat, sederhana dan biaya murah serta terbuka untuk umum.
- Kami melihat bahwa tuntutan Jaksa Penuntut Umum terhadap para terdakwa sangat tidak masuk akal karena jauh dari fakta persidangan. Saksi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum 6 (enam) diantaranya adalah anggota kepolisian daerah Papua dan 1 (satu) dari Kesbangpol Provinsi Papua. Saksi-saksi dari kepolisian bukan merupakan saksi yang menjelaskan fakta-fakta sebagaimana tuduhan makar, melainkan saksi yang melakukan pemantauan dan pengamanan terhadap aksi demo anti rasisme tanggal 19 Agustus 2019 dan 29 Agustus 2019. Sedangkan saksi dari Kesbangpol sama sekali tidak mengetahui terdakwa dan dugaan perkara yang dilakukan termasuk tidak mengetahui organisasi mereka terdaftar di Kesbangpol atau tidak karena pendaftaran di Kesbangpol bukan merupakan kewajiban tetapi sukarela. Disamping itu, tiga ahli yang diajukan Jaksa Penuntut Umum yakni ahli bahasa, ahli psikologi dan ahli HTN keterangannya tidak mempunyai korelasi dugaan perbuatan makar yang dilakukan oleh terdakwa. Disamping itu, Jaksa Penuntut Umum juga tidak menghadirkan ahli pidana untuk mendukung pembuktiannya terhadap dakwaan tersebut. Dalam persidangan, Jaksa Penuntut Umum hanya memutar video demo anti rasisme dan sama sekali tidak ditunjukkan barang bukti yang mendukung pembuktiannya bahwa terdakwa melakukan makar.
- Terdakwa melalui penasihat hukum dalam persidangan telah mengajukan 5 (lima) saksi fakta dan 5 (lima) ahli yang terdiri dari ahli HTN, Ahli Pidana, Ahli Filsafat Hukum, Ahli Politik dan Resolusi Konflik, Ahli Rasisme. Dari pengamatan kami berdasarkan bukti surat dan barang bukti serta keterangan saksi fakta bahwa terdakwa Ferry Kombo, Alex Gobay, Hengky Hilapok, Irwanus Uropmabin dan Agus Kossay bukan melakukan makar tetapi ikut dalam aksi demo anti rasisme di Jayapura pada tanggal 19 Agustus 2019 dan 29 Agustus 2019 sebagai reaksi atas tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya yang terjadi pada tanggal 16 Agustus 2019. Sedangkan Buchtar Tabuni dan Steven Itlay sama sekali tidak terlibat dalam demo anti rasisme maupun pertemuan kaitan dengan gerakan Papua Merdeka. Ahli juga menjelaskan bahwa demo menentang rasisme adalah merupakan kebebasan berekspresi yang diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), Konvensi Sipol, UUD 1945, UU HAM dan UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
- Melihat realitas proses persidangan diatas dan tuntutan terhadap keputusan yang tinggi, maka agama sebagai wadah untuk menegakkan kebenaran dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan di negara ini meminta agar negara hadir dan berperan serius untuk menyelesaikan masalah rasisme serta menegakkan hukum secara adil dan bermartabat.
- Apabila suara keagamaan tidak disampaikan kami kuatir sekali bangsa ini kedepan akan mengalami gejolak sehingga sangat berbahaya karena memicu disintegrasi bangsa serta hilangnya rasa kepercayaan masyarakat terhadap negara.
- Meminta Bapak Presiden Republik Indonesia untuk serius menyelesaikan masalah rasisme di Papua. Kami menyampaikan hal ini guna membantu pemerintah agar terjadi stabilitas politik dan keamanan jangka panjang secara khusus di Papua dan Indonesia pada umumnya. Kami pemimpin umat beragama yang selalu berdampingan dengan umat berharap untuk aman, rukun dan damai jangka panjang. Rasisme kalau dibiarkan akan sangat berbahaya.
- Meminta agar proses hukum terhadap ke – 7 (tujuh) terdakwa yang sedang menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Balikpapan – Kalimantan Timur dilakukan secara lebih adil. Kasus berawal dari rasisme di Surabaya dan bukan makar. Negara harus bisa membedakan antara gerakan makar dan reaksi terhadap rasisme.
- Ditengah situasi Pandemic Covid-19 dan situasi politik kedepan, kami meminta kepada Presiden Republik Indonesia agar terdakwa di bebaskan tanpa syarat. Kami meminta agar putusan yang dibacakan oleh yang mulia Majelis Hakim mencerminkan proses hukum yang tidak rasis dan hakim harus menunjukkan kepada masyarakat umum bahwa masih ada keadilan bagi rakyat Papua dalam proses hukum di negara ini seperti yang termaktub dalam UU RI dan Peraturan Pemerintah RI No. 40 dan 56 tentang pengawasan dan penghapusan diskriminasi, ras dan etnis.
- Harapan kami sebagai pimpinan agama agar Papua tanah damai terwujud, maka Bapak Presiden Republik Indonesia segera menyelesaikan 4 (empat) akar masalah utama konflik Papua yang dirumuskan dan direkomendasikan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) antara lain; pertama, sejarah dan status politik integrasi Papua ke dalam Negara Republik Indonesia; kedua, kekerasan dan pelanggaran HAM sejak 1965 yang nyaris nol keadilan; ketiga, diskriminasi dan marginalisasi orang Papua di tanah sendiri; empat, kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan dan ekonomi rakyat.
- Mengevaluasi perjalanan 20 (dua puluh) tahun OTSUS berdasarkan analisa Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada point 4 diatas dengan;
- Memperhatikan asal usul lahirnya OTSUS;
- Melibatkan para pemimpin agama di tanah Papua;
- Melibatkan masyarakat sipil;
- Kami para pemimpin agama menolak draft OTSUS yang disiapkan secara sepihak oleh BAPPENAS Republik Indonesia;
- Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia
- Menkopolhukam Republik Indonesia
- Mahkamah Agung Republik Indonesia
- Komisi Kejaksaan Republik Indonesia
- Kepala Kejaksaan Agung Republik Indonesia
- Panglima TNI
- KAPOLRI
- Ketua MPR Republik Indonesia
- Ketua DPR Republik Indonesia
- Ketua DPD Republik Indonesia
- Desk Papua di Jakarta
- Gubernur Provinsi Papua
- Gubernur Papua Barat
- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Provinsi Papua
- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Papua Barat
- Majelis Rakyat Papua (MRP)
- Majelis Rakyat Papua (MRP)/Papua Barat
- Kapolda Papua
- Kapolda Papua Barat
- Pangdam XVII Cenderawasih/Papua
- Pangdam XVIII Kasuari Papua Barat
- Kepala Kejaksaan Tinggi Papua
- Kepala Pengadilan Tinggi Papua
- Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) di Jakarta
- Persekutuan Gereja-gereja dan Lembaga-lembaga Injili Indonesia (PGLII) di Jakarta
- Persekutuan Gereja-gereja Pentakosta Indonesia (PGPI) di Jakarta
- Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) di Jakarta
- Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Jakarta
- Ketua Nahdatul Ulama (NU) di Jakarta
- Ketua Muhamadiyah di Jakarta
- Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) di Jakarta
- Perwakilan Umat Budha Indonesia (WALUBI) di Jakarta
Copyright ©Forum Kerukunan Umat Beragama Papua "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com
Sobat baru saja selesai membaca :
Menyikapi Proses Hukum 7 Tapol Rasisme, Ini Pernyataan Pimpinan Umat Beragama Se-Papua
Cepot rasa sudah cukup pembahasan tentang Menyikapi Proses Hukum 7 Tapol Rasisme, Ini Pernyataan Pimpinan Umat Beragama Se-Papua dikesempatan ini, moga saja dapat menambah informasi serta wawasan Sobat semuanya. Wookey, kita ketemu lagi di artikel berikutnya ya?.
Telah selesai dibaca: Menyikapi Proses Hukum 7 Tapol Rasisme, Ini Pernyataan Pimpinan Umat Beragama Se-Papua link yang gunakan: https://cepotpost.blogspot.com/2020/06/menyikapi-proses-hukum-7-tapol-rasisme.html