Judul : DALAM PELUKAN MUSLIM BANDA DAN SITUBONDO
link : DALAM PELUKAN MUSLIM BANDA DAN SITUBONDO
DALAM PELUKAN MUSLIM BANDA DAN SITUBONDO
Catatan Rudi Fofid-AmbonSaya tidak peluk Islam, karena sudah telanjur peluk Katolik. Sekalipun demikian, saya bisa memeluk dan dipeluk Muslim. Saya bisa cinta Islam dan Muslim sambil tetap jadi Katolik.
Dua foto pada naskah ini sungguh ektrem. Kiai Haji Raden Azaim Ibrahimy yang kharismatik berbalut busana penuh wibawa memeluk saya. Ini kenangan di Situbondo, Desember 2017. Foto lain, anak kampung Rajawali Banda Neira Muhammad Fikri Arodes telanjang dada, merangkul saya. Ini baru sepekan lalu.
Saya tidak pernah kenal Muhammad Fikri Arodes, sebelumnya. Kami beda usia, beda tempat tinggal, beda agama, beda lingkup pergaulan.
Saya baru tahu namanya setahun lalu, ketika dia menulis komentar di facebook yang mengandung ujaran kebencian kepada Kristen. Hal itu ditulisnya sebagai reaksi terhadap ujaran kebencian kepada Islam, yang ditulis oleh sesama anak muda bernama Ian Dirks. Alhasil keduanya harus berurusan dengan kepolisian.
Saya berada di Jakarta, saat itu, dan hanya menulis surat terbuka kepada Fikri. Setiba di Ambon, saya menemui dia. Saya peluk Fikri. Dia memanggil saya "Bapa", bukan Opa, bukan om, bukan kakak, bukan abang. Sejak itu, saya dan Fikri terus berkomunikasi.
Ketika Pesta Rakyat Banda 2017 digelar, Fikri "mewajibkan" saya tidur di rumahnya yakni rumah nenek yang merawatnya. Jadilah saya makan, minum, tidur di rumah keluarga Arodes di Kampung Rajawali. Gratis.
Sebagai anak muda yang pernah tergelincir menulis ujaran kebencian, Fikri beberapa kali memperlihatkan kepada saya, ujaran kebencian yang ditulis anak-anak muda lain. "Laporan" Fikri itu saya tindaklanjuti melalui pendekatan pribadi dengan penulisnya, sehingga cepat dihapus, agar tidak heboh, tidak viral, dan tidak repot berurusan dengan penegak hukum.
Ketika ujaran kebencian merebak kembali, Fikri sudah tidak ikut rame. Dia justru saya minta memberi komentar, dan peringatan kepada rekan sebaya agar tidak konyol. (http://bit.ly/2SSktHg)
Dua hari lalu, Fikri "memaksa" saya harus ke tempat tinggal kerabatnya di kompleks Kampus IAIN, Kebun Cengkih, Negeri Batumerah. Saya tiba di sana, sudah lewat jam 24.00 WIT. Fikri menyeduh kopi, dan kami begadang sambil mendiskusikan kembali "kekonyolan" menulis kebencian di facebook.
"Saya sudah lulus SMA, tidak kuliah, dan mau cari kerja. Tidak mau lagi tulis sembarang-sembarang di facebook," ujar Fikri.
Perjumpaan saya dan Fikri yang melahirkan relasi bapa-anak hanyalah peristiwa kecil dan tak perlu dicatat dalam sejarah. Tetapi Fikri adalah pintu masuk bagi saya untuk tetap terkoneksi dengan keluarga Arodes maupun orang-orang di Negeri Datuk-Datuk Kepulauan Banda, Lautaka, Boyratan, maupun keluarga besar Tubaka di Tanah Seram.
SITUBONDO
Perjumpaan saya dan Fikri tidak sebanding dengan sensasi Desember 2017, ketika saya harus berbicara di hadapan lebih 20 ribu santri Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo.
Penyair Roymon Lemosol lebih dulu baca puisi, dilanjutkan penyair lain. Saya orang terakhir yang memberi testimoni, lalu turun menyerahkan buku secara simbolik kepada Pondok Pesantren. Pimpinan Pondok Pesantren KHR Azaim Ibrahimy menyambut dan memeluk saya sangat erat. Kami berpelukan di bawah sorot banyak kamera, cahaya blitz, tepuk tangan dan ledakan sukacita.
Foto dan video testimoni sekitar 10 menit, dan persentuhan saya secara fisik dengan ulama besar itu dibagikan dan diberi tanda like ribuan kali. Viral di media sosial. Angka ribuan ini, menurut saya, menjadi indikasi kerinduan. Orang rindu pada perjumpaan dan persentuhan ekstrem intim tapi damai. Ulama Islam memeluk penulis Katolik dari Maluku. "Subhanallah!" Demikian banyak komentar seperti itu. Saya sangat hormat pada peristiwa dalam dua foto ini. Ada perjumpaan, perhentian, persentuhan, permenungan, dan dialog.
Saya menulis naskah ini sambil diam-diam membaca penolakan mayoritas umat Islam di Medan dan Jagakarsa, Jakarta Selatan, terhadap bangunan gereja dan aktivitas di sana. Saya tidak tahu riwayat kedua kasus, jadi saya tidak tahu suasana batin, relasi-relasi komunitas maupun personal di dua wilayah itu. Saya hanya ingat ada peraturan tiga menteri yang menjadi dasar bagi kelompok mayoritas manapun, melakukan penolakan terhadap orang agama minoritas . Negaralah penyedia ruang dan peluang untuk umat beda agama bisa bertarung.
Saat yang sama, saya lega dan puas kena siram tulisan Gus Aan Ansory dari Jombang berjudul ""Demonisasi Kristen dan PMII di Bondowoso". Gus Aan membawa kader-kader mahasiswa Islam dari PMII ke dalam gereja di Bondowoso.
(http://bit.ly/2AMUD0m)
Kalau saja saya membuat daftar kekerasan yang timbul akibat relasi tidak harmonis antara para pemeluk agama di Indonesia, saya sungguh yakin daftar tersebut sangat panjang. Saya tidak mau lakukan itu, sebab saya percaya, kalau saya membuat daftar relasi harmonis, justru daftar itu akan jauh lebih panjang. Sangat panjang. Saya ingat nasihat Aa Gym pada sebuah ceramah di TV. Jika punya satu tetangga sangat menjengkelkan, tidak usah fokus pada tetangga yang satu itu, tetapi fokuslah pada sekian banyak tetangga yang baik-baik dan penuh persaudaraan.
Tentu kita perlu memperbaiki relasi-relasi antara sesama pemeluk agama yang sama maupun berbeda, membangun relasi-relasi humanis. Pemerintah Republik Indonesia perlu menganggarkan banyak dana untuk pertemuan-pertemuan level nasional. MTQ, Pesparawi, Pesparani, Kongres organisasi-organisasi Kelompok Cipayung (HMI,PMII, GMKI, PMKRI, GMNI) dll, sebab di dalam pertemuan-pertemuan tersebut, akan ada banyak persentuhan dan permenungan. Semua akan membicarakan Indonesia dan kebudayaannya. Di dalam keindonesiaan dan kebudayaan itulah ada dinamika agama-agama dengan sensasi spiritual yang damai. Ada jejak Tuhan dalam perilaku iman yang murni.
Kita, Bangsa Indonesia, membutuhkan narasi-narasi kecil yang merekonstruksi narasi-narasi besar. Kita perlu saling memasuki, saling jumpa, saling kenal, saling sentuh, saling dialog, saling renung. Kita butuh membangun narasi bersama yang elok, bersejarah, dan penuh kenangan manis.
Kita bisa belajar dari kampung-kampung kita, dari leluhur kita, dari kearifan lokal kita, tetapi kita juga bisa belajar dari belahan Bumi manapun agar memperkukuh keindonesiaan yang kaya dan raya. Kita punya agama-agama dari luar Nusantara, maupun agama-agama Nusantara. Kita bisa belajar cara hidup dan relasi agama-agama di negeri asalnya sana.
Di makam Nabi Daud, misalnya, Pemerintah Israel melarang umat Islam melaksanakan salat berjamaah di sana, baik hari Jumat maupun hari lain. Demikian pula Kristen Protestan dan Kristen Katolik, dilarang ibadah atau misa di makam tersebut, pada hari Minggu atau hari lain. Pemerintah Israel yang mayoritas Bangsa Yahudi dan Agama Yahudi itu, juga melarang Umat Yahudi berdoa secara berjamaah pada hari Sabbath, maupun hari-hari lain.
Mengapa begitu? Karena Nabi Daud adalah salah satu nabi utama yang sangat dihormati Islam, Kristen, maupun Yahudi. Jadi doa-doa secara berjamaah tidak diperkenankan, supaya tidak terjadi tabrakan waktu, dan tabrakan massa. Sekalipun demikian, di dalam satu ruang yang sama, di sudut berbeda, siapa saja secara personal boleh memanjatkan doa kepada Tuhan di tempat suci itu.
Saya beruntung ketika berkunjung ke Kota Tua Yerusalem, di gerbang Gereja Makam Kudus, sempat menyaksikan jurnalis Net TV Ella Devianti mewawancarai Wajeeh Nuseibeh, seorang pria Muslim di Israel, yang mendapat tugas sebagai pemegang kunci pintu gereja. Nuseibeh mengaku sudah menjaga gereja secara turun-temurun. Semua ini berlangsung secara damai dan manis.
Ah, Israel terlalu jauh. Kembali ke tanah air, kepada saya dan Fikri saja. Kami berdua di Ambon, sebuah kita musik. Saya ingin paparkan penggalan lirik ini sebagai penutup:
Aku mau kisahkan sesuatu padamu
Kupikir kau paham saat kukatakan
Aku Ingin genggam tanganmu
Katakanlah, kau rela aku jadi milikmu
Kau kan biarkan aku genggam tanganmu
Kau biarkan aku genggam tanganmu
Karena aku ingin genggam tanganmu
Manakala kusentuh dikau, kubahagia
Seperti itulah rasa cintaku
Aku tak bisa sangkal
Aku tak bisa sangkal.
Puisi siapakah ini? Ah ini bukan puisi. Ini terjemahan bebas yang saya lakukan atas lirik lagu Beatless: I Want To Hold Your Hand. Semoga kita sebagai individu, dengan penuh semangat selalu mau berjuang membangun jembatan persaudaraan yang melampaui sekat-sekat yang selama ini berpotensi dan kerap dikelola menjadi alasan untuk bertikai yakni agama, suku, ras, golongan politik, batas tanah, sejarah asal-usul, persaingan meraih uang, makanan, pekerjaan, pasangan seksual, dan hal-hal fana yang lain.
Mari bernyanyi lagu lama dari kelompok terkenal Beatless tersebut. Semoga ada permenungan.
I WANT TO HOLD YOUR HAND
Oh yeah, I'll tell you something
I think you'll understand
When I say that something
I wanna hold your hand
I wanna hold your hand
I wanna hold your hand
Oh please, say to me
You'll let me be your man
And please, say to me
You'll let me hold your hand
You let me hold your hand
I wanna hold your hand
And when I touch you I feel happy
Inside
It's such a feeling that my love
I can't hide
I can't hide
I can't hide
Yeah, you've got that something
I think you'll understand
When I say that something
I wanna hold your hand
I wanna hold your hand
I wanna hold your hand
And when I touch you I feel happy
Inside
It's such a feeling that my love
I can't hide
I can't hide
I can't hide
Yeah, you've got that something
I think you'll understand
When I feel that something
I wanna hold your hand
I wanna hold your hand
I wanna hold your hand
I wanna hold your hand
Ambon, 15 Januari 2019
Penulis adalah penyair, dan Redaktur Pelaksana Media Online Maluku Post.
Sobat baru saja selesai membaca :
DALAM PELUKAN MUSLIM BANDA DAN SITUBONDO
Cepot rasa sudah cukup pembahasan tentang DALAM PELUKAN MUSLIM BANDA DAN SITUBONDO dikesempatan ini, moga saja dapat menambah informasi serta wawasan Sobat semuanya. Wookey, kita ketemu lagi di artikel berikutnya ya?.
Telah selesai dibaca: DALAM PELUKAN MUSLIM BANDA DAN SITUBONDO link yang gunakan: https://cepotpost.blogspot.com/2019/01/dalam-pelukan-muslim-banda-dan-situbondo.html