Judul : Perlukah Menerapkan Peace Building dalam Pilkada Maluku?
link : Perlukah Menerapkan Peace Building dalam Pilkada Maluku?
Perlukah Menerapkan Peace Building dalam Pilkada Maluku?
Oleh
Rudi Hartono
Beberapa hari yang lalu, tepatnya pada Kamis 26 April 2018, dalam sambutan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) yang dibacakan oleh Soedarmo selaku dirjen politik dan pemerintahan umum mengharapkan agar seluruh calon kepala daerah (Calkada) Maluku dalam Pilkada 2018 menerapkan konsep Peace building agar menghindari terjadinya praktik politik identitas, ujaran kebencian dan politisasi SARA.
Sebagai sebuah konsep Peace building pertama kali diperkenalkan oleh mantan sekretaris jenderal PBB, Bhoutros-Bhoutros Gali (1992) yang mana penekanan konsep tersebut terletak pada perjanjian akan perdamaian serta melucuti senjata-senjata dari kelompok yang bertikai serta perlindungan hak asasi manusia. Namun ditangan Jhon Galtung, Peace building semakin diperkuat, menurutnya Peace bulding merupakan suatu proses pembentukan perdamaian yang ditujukan untuk perubahan sosial melalui merekonstruksikan dan pembangunan ekonomi, sosial serta politik.
Maka diperlukan tindakan-tindakan dari pihak otoritatif, dalam hal ini pemerintah atau mereka yang memiliki pengaruh, untuk melakukan Peace building pada masyarakat, guna menciptakan kondisi tertib politik dan sosial. Singkatnya hal ini ditujukan untuk mencegah terjadinya konflik sosial, agar proses pilkada dalam hal ini, dapat berjalan aman. Tentu apa yang dikatakan oleh mendagri memiliki maksud baik, mengingat Maluku merupakan salah satu daerah dengan tingkat kerawanan yang rendah.
Asumsi ini kerawanan inilah yang membuat Mendagri merasa perlu agar setiap Calkada menerapkan Peace building, agar mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Akan tetapi yang perlu difahami bersama bahwa konflik sosial hanyalah hasil dari problem ekonomi yang belum tuntas. Artinya bahwa kondisi masyarakat yang hidup dalam garis kemiskinan memiliki potensi terjadinya kecemburuan sosial yang mana hal tersebut bisa berujung pada konflik.
Konflik sosial pada dasarnya bukanlah soal politik identitas, ujaran kebencian dan politisasi sara, melainkan ia merupakan hasil dari problem ketidak adilan ekonomi. Bahkan dapat juga dikatakan bahwa, diktum Mendagri pada dasarnya tidaklah tepat sasaran. Dimana ia berharap yang menerapkan Peace building justru pada Calkada, yang mana justru pada merekalah ruang konflik akan semakin terbuka lebar sebab hal ini terkait dengan persaingan dalam memperebutkan kekuasaan.
Secara teoritis, konflik merupakan sesuatu yang sifatnya inheren dalam kehidupan manusia. Manusia tidak dapat dilepaskan dengan konflik, sebab setiap orang pasti memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Sehingga mengharapkan keteraturan, serta tatanan masyarakat yang harmoni akan sangat sulit terwujud. Kita tahu bahwa ketimpangan ekonomi dan sosial di Maluku masih ada, itu artinya masih terdapat kepentingan masyarakat yang belum terartikulasi dengan baik.
Karena masih terdapat kepentingan yang belum terartikulasi, maka dalam hal ini masih terdapat masyarakat yang dimarginalkan oleh pemerintah. Kondisi inilah yang seringkali dimanfaatkan oleh setiap Calkada untuk kepentingan politik pragmatis mereka. Masyarakat yang kepentingannya dimarginalkan, akan sangat mudah pola pikirnya direkonstruksi oleh salah satu Calkada dengan mengindoktrinasi bahwa “jangan pilih dia, pilih saya saja, karena dia selama ini tidak pernah mementingkan kepentinganmu”.
Kita akan memahami ini dengan jelas hanya dalam lanskap populisme, dimana salah satu karakternya adalah politik rakyat banyak vis-a-vis elite. Dalam kenyataan yang kita lihat akhir-akhir ini, elite yang selama ini termarginalkan oleh penguasa akan mengambil posisi yang justru pro rakyat, sehingga mereka akan selalu memproduksi wacana anti-elite yang tidak memihak. Dititik ini, politik identitas, dst, hanya menjadi instrumen semata, tergantung pada siapa lawan politiknya. Ketika lawan berpotensi diserang lewat isu sara, maka strategi politik populisnya adalah isu sara.
Oleh karena itu, menurut hemat saya, penerapan Peace building akan menjadi sia-sia jika persoalan infrastruktur (atau basis ekonomi) masyarakat berada dalam zona yang masih jauh dari kata sejahtera. Tulisan ini mencoba untuk memberikan suatu tawaran terkait tindakan apa yang harus dilakukan secara kolektif (tidak hanya Calkada) sebelum kita berbicara soal penertiban dalam masyarakat melalui Peace building. Untuk menjawab persoalan ini, kita dapat membedahnya melalui konsep infrastruktur (atau Basis ekonomi) dan suprastruktur.
Rekonstruksi Pola Pikir Masyarakat
Selama ini, sebagian masyarakat kita masih belum dapat memahami dengan jelas makna substansial dari pilkada. Dalam pandangan masyarakat yang terindoktrinasi oleh pola-pola yang pragmatis, akan memahami pilkada sebatas pada perebutan kekuasaan semata. Sehingga ketika kursi kekuasaan berhasil dimenangkan oleh aktor yang merepresentasikan kepentingan publik, justru publik gagal untuk menindak lanjuti kepentingan mereka yang seharusnya berpotensi besar untuk terwujud melalui mekanisme parlementarianisme. Pola pikir yang semacam ini merupakan bentuk dari kesadaran palsu, dan itu perlu untuk dirubah.
Konsep infrastruktur dan suprastruktur diperkenalkan oleh Karl Marx. Menurut Louis Althuser (2015: 16) dalam Ideology and Ideological State Apparatus, infrastruktur atau basis ekonomi merujuk pada kekuatan produktif dan relasi produksi yang dilihat sebagai satu kesatuan. Sedangkan suprastruktur memiliki dua tingkat atau unsur, yakni: legal politis (Negara dan Hukum) dan Ideologi (Ideologi, Agama, Etika, politik, dst). Dalam hal ini, konsep tersebut tidak dilihat dalam konteks determinasi ekonomi (Basis menentukan suprastruktur), melainkan perlu dibaca secara dialektis.
Masyarakat yang berada dalam garis kemiskinan sudah barang tentu tidak akan berpikir terkait persoalan suprastruktur, dalam hal ini pilkada. Dalam pandangan mereka, persoalan pilkada adalah soal datang memilih ketika hari “H”. Kesadaran masyarakat yang masih terjebak dalam kesadaran ekonomi, akan sangat rentan untuk dibodoh-bodohi oleh elit politik. Mereka akan sangat sulit untuk menyaring isu-isu politik yang dimainkan oleh elite politik. ketika isu tersebut diterima tanpa disaring, maka secara tidak sadar mereka tengah berada dalam kuasa wacana.
Semua orang tentu akan sepakat jika setiap Calkada harus menghadirkan praktek-praktek demokrasi yang santun. Namun kita tidak dapat naif, bahwa dalam sistem politik kita hari ini persaingan adalah suatu hal yang tidak dapat dihindarkan. Kondisi ini sangat memungkin agar persaingan menjadi semakin anarkis, dimana prinsip politik Machiavellian yang menghalalkan segala cara sekalipun mengatasnamakan moralitas, akan menjadi pedoman utama. Maka kemungkinan praktek politik uang (Money Politic), identitas, serta politisasi sara semakin terbuka lebar.
Banalitas dalam persaingan elite politik inilah yang seringkali menjadikan masyarakat sebagai korban politik pragmatis. Agitasi dan propaganda elite yang berhasil menghegemoni para pendukungnya akan sangat mudah memicu konflik, ketika elite yang dipatronkan posisinya tengah terancam. Kondisi ini dalam pandangan Gramsci disebut sebagai revolusi pasif. Menurut Gramsci revolusi pasif merupakan suatu strategi yang digunakan oleh kelompok borjuis (atau dominan) bila mana posisi mereka tengah terancam.
Dalam konteks ini konsep revolusi pasif saya gunakan dalam kaitannya dengan perebutan kekuasaan antar elite politik. Ketika elite “A” berada dalam posisi yang terancam oleh elit “B”, maka manuver politik akan dilakukan dimana tujuan utamanya adalah memancing amarah publik terhadap elit “B”. Disinilah jika kita hendak ingin memahami bagaimana populisme beroperasi. Maka dari itu, untuk menghindari praktek politik identitas – ujaran kebencian, dan politisasi SARA – pemerintah harus melakukan perbaikan infrastruktur masyarakat. Artinya harus ada pendistribusian ekonomi yang adil dalam masyarakat, tanpa ada yang dimarginalkan.
Tindakan ini bertujuan untuk merekonstruksi kesadaran masyarakat yang tengah terjebak dalam pandangan ekonomistik semata. Masyarakat yang kesadarannya telah melampaui kesadaran ekonomi, akan dapat memilah dan memilih wacana yang berkembang. Transformasi kesadaran ekonomi ke politik secara tidak langsung akan merubah pola pikir masyarakat akan pilkada. Masyarakat yang sudah berada pada fase kesadaran ekonomi dan politik, akan melihat pilkada tidak sebatas perebutan kekuasaan atau pergi ke TPS semata, melainkan ia akan mampu melihat secara jeli hal-hal yang esensial.
Artinya dia akan melihat visi-misi dan program kerja seorang Calkada, sebab dalam pandangannya hal tersebut berkaitan dengan hidupnya di masa mendatang. Sederhananya, bila seorang yang hidup sebagai seorang petani tentu yang akan dipilih adalah seorang Calkada yang memiliki visi-misi serta program yang berkaitan dengan pertanian, tidak mungkin yang dipilih adalah yang memprioritaskan industri.
Menciptakan Demokrasi Yang Santun
Ketika berbicara soal menciptakan demokrasi yang santun, itu artinya kita perlu melakukan transformasi sistem demokrasi prosedural ke demokrasi substansial. Selama sistem politik kita masih berada dibawah kekurangan demokrasi liberal, maka sangat mustahil untuk mewujudkan praktek-praktek demokrasi yang santun dan beretika. Sebab semakin demokrasi itu terprosedural, maka nilai-nilai substansial dari demokrasi akan hilang dengan sendirinya.
Dalam hal ini, gagasan ruang publik yang dikemukakan oleh Jurgen Habermas dapat menjawab pertanyaan terkait bagaimana praktek-praktek demokrasi yang santun, beretika itu dapat terwujud. Dalam pandangan Habermas, Ruang Publik hendaknya didudukan secara adil dan fer. Dalam artian tidak ada pihak-pihak tertentu yang mengkooptasi ruang tersebut. Ketika ruang publik berhasil dikooptasi oleh pihak tertentu, maka diskursus politik publik akan berjalan tidak seimbang.
Maka selama proses pilkada berlangsung, kiranya perlu bagi kaum intelektual organik (dalam istilah Gramscian), untuk melakukan counter wacana elite agar masyarakat tidak terperangkap dalam kuasa wacana yang diproduksi oleh elite hanya untuk memenuhi hasrat dan kepentingan mereka akan kekuasaan.
Hanya saja pertanyaannya adalah maukah kaum intelektual organik berdiri secara otonom dan independen berjuang bersama rakyat ?.
*Penulis adalah Kader Forum Intelektual Nuhu Evav (FINE) Malang dan Pegiat In-Trans Institute.
Sobat baru saja selesai membaca :
Perlukah Menerapkan Peace Building dalam Pilkada Maluku?
Cepot rasa sudah cukup pembahasan tentang Perlukah Menerapkan Peace Building dalam Pilkada Maluku? dikesempatan ini, moga saja dapat menambah informasi serta wawasan Sobat semuanya. Wookey, kita ketemu lagi di artikel berikutnya ya?.
Telah selesai dibaca: Perlukah Menerapkan Peace Building dalam Pilkada Maluku? link yang gunakan: https://cepotpost.blogspot.com/2018/05/perlukah-menerapkan-peace-building.html