Judul : Menggugat Kunjungan Presiden ke Tanah Papua
link : Menggugat Kunjungan Presiden ke Tanah Papua
Menggugat Kunjungan Presiden ke Tanah Papua
Kunjungan Presiden Jokowi ke Papua. Foto: (ist). |
Oleh Aventinus Jenaru, OFM
Kesejahteraan merupakan impian dari semua orang tak terkecuali pendiri negara ini. Dalam Pembukaan UUD 1945, kita temukan secara jelas rumusan impian akan kesejahteraan itu, ...”memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa...,”. Rumusan ini hingga saat ini telah dijadikan “tuntunan” atau panduan bagi setiap pemerintah dalam melaksanakan roda pemerintahannya. Untuk pemerintahan sekarang dorongan akan mencapai cita-cita kesejahteraan ini sangat terasa, terutama di Tanah Papua, melalui seringnya Presiden Joko Widodo mengunjungi tanah terberkati ini.
Patut diberi acung jempol terhadap Presiden Jokowi yang sudah berulang kali mengunjungi Papua. Keseringan kunjungan ini pertanda bahwa dia peduli dengan Papua, dia menghendaki yang terbaik untuk Papua. Kehendak baik ini pun sudah secara telanjang dia ungkapkan berulangkali pula.
Ungkapan janji ini perlahan mulai terwujud, tatkala beberapa daerah pelosok Papua diberikan perhatian khusus, terutama dari sisi pembangunan infrastruktur (jalan trans Papua). Jalan perlahan dibuka untuk membuka keterisolasian daerah pedalaman, walau untuk saat ini belum semuanya rampung. Beberapa bandara pun sudah mulai dibangun dan direnovasi agar bisa didarat oleh pesawat yang memiliki daya tampung penumpang lebih banyak dari sebelumnya. Pos perbatasan pun dibangun lebih layak dan bermartabat. Pasar mama-mama Papua (di Kota Jayapura) telah dibangun (walau harus melalui proses yang sangat panjang dan melelahkan), dan beberapa infrastruktur lain yang tidak disebutkan di sini.
Kenyataan ini patut kita apresiasi, sebab Presiden sebelumnya sangat kurang memberikan perhatian terhadap Papua. Suka atau tidak suka, harus diakui bahwa banyaknya kunjungan Presiden Jokowi ke Tanah Papua sedikit membuka tabir keterbelakangan dan ketertinggalan Papua. Kehadirannya sedikit memberikan keyakinan kepada kita bahwa impian kesejahteraan sebagaimana tertulis dalam UUD 1945 bukanlah sesuatu yang tidak bisa digapai. Kehadiran Presiden Jokowi mempertegas bahwa kesejahteraan itu bukan hanya sebuah pribahasa, gantungkanlah cita-citamu setinggi langit, tetapi juga bisa menjadi sebuah kenyataan kalau diperjuangan dengan sungguh dan tulus.
Akan tetapi, Pemerintah (Presiden) lupa bahwa berbicara tentang kesejahteraan manusia berarti berbicara tentang multi-dimensinya setiap manusia. Kesejahteraan bukan saja soal terpenuhinya semua kebutuhan infrastruktur; jalan, bandara, desa menjadi kota, dst, tetapi juga soal kebutuhan-kebutuhan lainnya semisal, kebutuhan psikologi, kebutuhan sosial, budaya dan keselarasan dan kedamaian dalam hidup, pengakuan akan keberadaan, juga termasuk kebutuhan untuk menikmati hidup tanpa ada rasa takut, jauh dari kekerasan dan ketidakadilan.
Dari sisi kesejahteraan dalam arti terpenuhinya kebutuhan infrastruktur, pembangunan yang sudah diperjuangkan Presiden bisa menjadi jawaban tepat atasnya. Akan tetapi, berbicara tentang kesejahteraan manusia keseluruhan mau tidak mau juga menyangkut kesejahteraan dari sisi kedamaian, keadilan, penghargaan atas keberadaan, termasuk juga penghargaan atas aspirasi yang muncul. Nah, apakah kesejahteraan yang disebutkan terakhir ini sudah diperhatikan pemerintah (Presiden)?
Tak bisa dipungkiri bahwa masih banyaknya kritik terhadap pemerintahan Jokowi-Kalla yang muncul dari Tanah Papua tidak terlepas dari perhatian yang belum menyentuh hal yang mendasar sebagaimana yang diharapkan. Orang Papua tidak saja mengharapkan jalan trans Papua untuk membuka keterisolasian, pun bandara yang bagus dan luas, tetapi yang lebih utama adalah terselesainya begitu banyak kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang sudah terjadi sejak Papua diintegrasikan ke dalam NKRI.
Pengabaian atau ketidakpedulian Pemerintah pusat terhadap masalah pelanggaran HAM yang terjadi di tanah Papua melahirkan dugaan-dugaan liar dalam benak dan pikiran banyak orang di Papua.
Pertama, pemerintah pusat masih memahami bahwa kesejahteraan orang Papua (yang tinggal di Papua) bisa terwujud apabila pembangunan infrastruktur ditata dan dibangun secara adil sampai ke pelosok. Artinya, pemerintah hanya berpikir salah satu segi saja dari begitu banyak segi yang harus juga mengalami kesejahteraan yang sama;
Kedua, bisa juga diduga bahwa pemerintah belum terlalu serius manangani persoalan masyarakat Papua. Ketidakseriusan itu bisa dilihat dalam perhatian yang hingga saat ini diberikan lebih besar pada pembangunan infrastruktur, sementara masalah kekerasan dan pelanggaran HAM belum ditanggapi secara serius;
Ketiga, Pemerintah hanya memanfaatkan Papua sebagai lahan munculnya beragam sumber daya alam yang bernilai sangat tinggi;
Keempat, ada keraguan dalam diri Pemerintah untuk menyelesaikan masalah HAM yang sudah terjadi; sebab hal ini mau tidak mau bersinggungan dengan sejarah yang oleh kebanyakan tokoh Papua disebut sebagai sejarah kelam.
Ketidakmampuan Pemerintah untuk menyentuh persoalan HAM inilah yang menyebabkan usahanya yang begitu luar biasa membangun infrastruktur di Papua dianggap kurang berarti. Untuk apa jalan bagus sampai ke pelosok-pelosok kalau orangnya tidak dihargai? Untuk apa bangun bandara yang bagus kalau orang yang menggunakan bandara itu tidak diperhatikan hidupnya? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini mau tidak mau mengarahkan kita untuk melihat apa yang lebih bernilai dari sekadar sarana prasarana yang dibangun begitu bagus itu. Dari ketidakpuasan masyarakat inilah kita bisa menilai bahwa semua sarana prasarana itu hanya akan berguna ketika masyarakatnya dihargai hidupnya. Maka yang paling penting dan utama dari pembangunan sebenarnya adalah manusianya itu sendiri. Persis hal ini kurang diperhatikan pemerintah dalam menyelesaikan persoalan di Papua.
Dalam sambutannya, Presiden berulangkali mengatakan kita menyelesaikan persoalan Papua melalui pendekatan kesejahteraan, tetapi lagi-lagi kesejahteraan yang dibayangkan hanya sebatas pembangunan infrastruktur. Dari sisi ini, tanpa diragukan lagi bahwa Pemerintah memang memiliki niat baik bagi perubahan Papua, tetapi niat baik ini hanya menyentuh sebagian kecil dan luar dari begitu banyak dan mendasarnya kebutuhan masyarakat Papua.
Persoalan HAM yang selama ini menjadi buah tutur dibiarkan, bahkan seolah telah menjadi ingatan kelam dan keji bagi setiap generasi turun-temurun, tanpa ada penyelesaian yang berkeadilan. Presiden hanya bisa janji, akan tetapi janji itu sampai saat ini belum direalisasikan.
“Pemerintah Jokowi berulangkali mengatakan mereka berniat menggunakan pendekatan baru di Papua dan Papua Barat terkait gerakan pro kemerdekaan, termasuk mengatasi masalah hak asasi manusia. Kenyataannya tidak sesuai dengan retorika yang disampaikan” kata Phelim Kine, Deputi Direktur Human Rights Watch (HRW) untuk wilayah Asia (Jubi, 16 Januari 2017). Salah satu contoh dari pemerintah tidak menepati janjinya adalah terkait dengan apa yang pernah disampaikannya yaitu penuntasan secara terbuka beberapa kasus pelanggaran HAM Papua di masa lalu; seperti kasus pembantaian di Biak pada Juli 1998, kasus Wasior Berdarah 2001, Kasus Wamena 2003, kasus pembubaran paksa Kongres Rakyat Papua, Oktober 2001 (Jubi, 16/1/2017) dan kasus ditembaknya beberapa pemuda di Paniai tahun 2014. Sampai sekarang kasus-kasus ini dibiarkan begitu saja, tanpa ada kisah penyelesaiannya.
Inilah saatnya bagi Presiden untuk melihat kesejahteraan Papua dari berbagai macam sudut pandang. Inlah juga saatnya Presiden mengevaluasi pendekatan kesejahteraan parsial (hanya menyentuh bagian-bagian tertentu saja) yang selama ini diyakini bisa menyelesaikan persoalan Papua secara keseluruhan.
Persoalan Papua sangat rumit maka pendekataannya pun juga harus “rumit” sebab ada begitu banyak faktor yang terlibat dalam lahir dan berkembangnya persoalan di Tanah Papua. Penyelesaiannya pun mau tidak mau harus melibatkan banyak faktor yang terkait itu. Menggunakan salah satu pendekatan dan mengabaikan yang lain sama artinya menciptakan kepincangan baru.
Masih ada kesempatan untuk meyakinkan masyarakat Papua bahwa niat baik Pemerintah pusat untuk menyejahterakan bukan hanya sekedar pepesan janji belaka yang memberikan ketentraman sesaat. Niat ini harus berwujud pada tindakan konkret, yaitu menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu sambil memberikan jaminan untuk hidup dalam kedamaian, jauh dari kekerasan dan tindakan pelanggaran HAM serta terjaminnya keadilan sosial yang merata bagi seluruh masyarakat Papua.
Ada peluang yang begitu luas dan lebar bagi pemerintah pusat (Presiden) untuk merebut kembali simpati masyarakat Papua yang selama ini terlanjur apatis dengan Pemerintah pusat. Peluang itu adalah niat baik yang perlahan diwujudkan pemerintah melalui pembangunan infrastruktur. Namun, itu tidak cukup.
Pekerjaan rumah yang masih berat untuk pemerintah sekarang adalah bagaimana perwujudan niat baik itu juga menyentuh realitas kebutuhan yang hakiki lainnya, yaitu menghargai dan menciptakan kemungkinan agar hidup yang dinikmati semua orang terus dijaga dengan dua cara ini, yaitu menyelesaikan persoalan-persoalan yang terkait dengan pelanggaran HAM selama ini (terutama yang sudah terlanjur dijanjikan penyelesaiannya) dan serentak pula memberikan kemungkinan ruang yang begitu luas bagi terciptanya kedamaian dan keadilan di Tanah Papua tercinta ini. (*)
Penulis adalah rohaniwan dari SKPKC Fransiskan Papua.
Copyright ©Tabloid JUBI "sumber"
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com
Sobat baru saja selesai membaca :
Menggugat Kunjungan Presiden ke Tanah Papua
Cepot rasa sudah cukup pembahasan tentang Menggugat Kunjungan Presiden ke Tanah Papua dikesempatan ini, moga saja dapat menambah informasi serta wawasan Sobat semuanya. Wookey, kita ketemu lagi di artikel berikutnya ya?.
Telah selesai dibaca: Menggugat Kunjungan Presiden ke Tanah Papua link yang gunakan: https://cepotpost.blogspot.com/2017/06/menggugat-kunjungan-presiden-ke-tanah.html