Judul : RANCANG BANGUN MODEL AUDIT KEBIJAKAN DAERAH
link : RANCANG BANGUN MODEL AUDIT KEBIJAKAN DAERAH
RANCANG BANGUN MODEL AUDIT KEBIJAKAN DAERAH
oleh
Henri M. Far Far, S.H.,M.H
Kepala Biro Hukum dan HAM Setda Provinsi Maluku
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pengujian wewenang pembatalan Peraturan Daerah (Perda) melalui Putusan MK Putusan MK Nomor 137/PUU-XIII/2015 dan Putusan MK Nomor 56/PUU-XIV/2016 dalam pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Kedua Putusan MK tersebut, memberikan konsekuensi terhadap penataan wewenang pengawasan (exekutif review) terhadap produk hukum daerah.
Model Audit Kebijakan Daerah, dimaksudkan untuk (1) mengembangkan model formulasi kebijakan yang spesifik dan menjadi acuan bagi pemerintah kabupaten/kota yang ada di Propinsi Maluku; (2) mengembangkan instrumen review kebijakan. Instrumen review kebijakan yang dimaksud terdiri dari 2 tipe yaitu (1) review kesesuaian dengan norma-norma hukum (legal draf audit), dan (2) review terhadap tahapan-tahapan perumusan kebijakan (policy draf audit). Keseluruhan proses tersebut dilakukan untuk mendapatkan standar formulasi kebijakan baik menyangkut standar mutu audit; standar pelaksanaan dan instrumen audit.
Model audit kebijakan daerah penting untuk menjaga kualitas proses formulasi daerah; mencegah terjadinya kebijakan yang tidak sesuai dengan arah dan kebijakan pemerintah; dan menjamin kualitas dan idependensi audit kebijakan daerah.
PENGANTAR
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pengujian wewenang pembatalan Peraturan Daerah (Perda) melalui Putsan MK Putusan MK Nomor 137/PUU-XIII/2015 dan Putusan MK Nomor 56/PUU-XIV/2016 dalam pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Kedua Putusan MK tersebut, memberikan konsekuensi terhadap penataan wewenang pengawasan (exekutif review) terhadap produk hukum daerah.
Putusan MK ini mengakhiri perdebatan panjang dalam menentukan lembaga mana yang paling berhak membatalkan perda. Selama ini,pembatalan perda selalu dibawa ke dalam perdebatan antara masuk ke rezim hukum/perundang-undangan atau pemerintahan daerah. Rejim perundang-undangan lebih melihat perda sebagai produk legislatif sehingga pengujiannya harus ditempuh melalui judicial review.
Sedangkan rezim Pemerintahan Daerah melihat perda sebagai produk hukum yang dibentuk oleh pemerintahan daerah sebagai bagian dari kekuasaan Pemerintahan. Sehingga Pemerintah dapat membatalkan perda melalui excecutive review. Selain mengakhiri perdebatan, putusan ini juga memberikan pengaruh yang besar bagi kebijakan yang dianggap bermasalah.
Pada bagian lain, kosekuensi dari adanya Putusan MK tersebut juga berdampak terhadap fungsi pemerintah propinsi dalam rangka melakukan pembinaan terhadap pemerintah kabupaten/kota. Sebagai perwakilan pemerintah pusat di daerah, Pemerintah Propinsi berkewajiban menata seluruh kebijakan daerah kabupaten/kota agar selaras dengan kepentingan pembangunan regional di tingkat propinsi.
Penyelarasan itu dilakukan dengan menyesuaikan kebijakan-kebijakan kabupaten kota agar tidak bertentangan dengan kepentingan regional maupun nasional. Penghapusan kewenangan membatalkan perda akan membuka peluang terjadi inkonsistensi antara kebijakan kabupaten/kota
dengan pemerintah propinsi. Artinya, kabupaten/kota dapat membuat kebijakan yang bertentangan dengan arah dan kebijakan pemerintah propinsi.
Pembatalan melalui mekanisme judicial reviewpun membutukan sumberdaya yang besar, baik waktu maupun materiil. Oleh karena itu, perlu dilakukan inovasi hukum dengan membuat sistem perumusan kebijakan yang tetap mengakomodir kepentingan pemerintah propinsi tetapi tidak bertentangan dengankedua Putusan MK di atas.
KONSTRUKSI PENATAAN PENGAWASAN
Tema mengenai pengawasan atau review peraturan daerah (perda) semakin relevan di antara isu desentralisasi dan penguatan kewenangan legislasi daerah. Perda menjadi salah satu instrumen yang strategis untuk mewujudkan tujuan desentralisasi.
Sejak diberlakukannya desentralisasi di Indonesia, daerah-daerah memperoleh kewenangan yang cukup luas untuk membentuk peraturan-peraturan daerah secara otonom, baik yang berkaitan dengan kebijakan fiskal maupun tatanan hidup masyarakat lokal. Di sisi lain, keberadaan perda juga merupakan implementasi sistem representasi dalam perumusan kebijakan di tingkat pemerintahan daerah.
Pemberian kewenangan membuat perda menunjukkan adanya peluang bagi daerah untuk mengatur wilayahnya sendiri demi memajukan dan memberdayakan daerahnya. Namun hingga kini, masih muncul masalah akibat perda. Berbagai pemberitaan dan laporan menyebutkan adanya perda-perda yang bertentangan dengan hak asasi manusia.
Selain itu, Kementerian Dalam Negeri juga telah banyak membatalkan perda bidang retribusi dan pajak daerah yang dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Namun begitu,perda menjadi salah satu elemen dasar bagi pelaksanaan desentralisasi. Kewenangan membentuk perda merupakan implementasi dari kemandirian daerah.
Oleh karena itu,diperlukan mekanisme untuk mengawasi pelaksanaan kewenangan daerah dalam membentuk perda. Pengawasan perda diperlukan dalam menjaga kesesuaian peraturan di tingkat lokal dengan peraturan yang berlaku di tingkat nasional. Review juga diperlukan untuk mengontrol agar peraturan yang dibuat tidak melanggar prinsip-prinsip dasar dalam bernegara seperti perlindungan hak asasi manusia.
Peraturan perundang-undangan mengatur dua mekanisme review atau pengawasan terhadap peraturan daerah, yaitu executive review dan judicial review. Executive review merupakan kewenangan mengawasi perda yang dimiliki oleh pemerintah (executive power), sementara itu judicial review merupakan kewenangan mengawasi perda yang dimiliki oleh Mahkamah Agung (judicative power). Kedua mekanisme ini dapat berujung pada pembatalan perda.
Dalam prakteknya dua mekanisme ini belum dapat berjalan optimal karena dihadapkan pada beberapa permasalahan. Permasalahan dalam lingkup executive review antara lain dipengaruhi oleh regulasi yang mengaturnya. Inkonsistensi antara peraturan di tingkat yang lebih tinggi dengan peraturan di tingkat teknis menyebabkan lemahnya implementasi sistem yang telah dibuat. Seperti pengaturan kewenangan pembatalan, pelibatan pemerintah propinsi dalam mengawasi perda kabupaten/kota, dan koordinasi dan kerjasama antara kementerian yang mempunyai kewenangan terkait perda.Selain regulasi, masalah dalam executive review juga disebabkan oleh inisiatif dari kementerian yang berwenang untuk menjalankan sistem pengawasan secara menyeluruh.
Sementara itu, dalam pelaksanaan judicial review permasalahan yang dihadapi antara lain terkait dengan mekanisme yang menyulitkan masyarakat dalam menempuh prosedur untuk mengajukan judicial review perda. Seperti pembatasan waktu pengajuan perda, pembebanan biaya pendaftaran dan penanganan perkara, jangka waktu pemeriksaan dan transparansi dalam pemeriksaan permohonan.
Berdasarkan laporan terhadap implementasi pengawasan perda oleh Pemerintah dan MA, terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan lamanya proses evaluasi ini disinyalir terjadi karena sejumlah faktor,yaitu, pertama, Lambatnya Penyerahan Perda oleh Pemerintah Daerah untuk di Evaluasi; kedua, Masih adanya ketidaktahuan Pemerintah Daerah terkait dengan kewajiban menyerahkan Perda kepada Pemerintah Pusat; ketiga, Adanya perbedaan persepsi antara Pemerintah Pusat dan Daerah dalam lingkup review; keempat, Tidak konsistennya sikap Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah Daerah yang telah berkonsultasi sebelumnya dalam penyusunan perda namun perdanya tetap dinilai bermasalah; dan kelima, Keengganan Pemerintah Daerah menyerahkan Perda kepada pemerintah Pusat karena tidak adanya sanksi bagi daerah yang tidak menyerahkannya, sekaligus upaya menghindari pembatalan perda yang dibuat
Dalam teori hukum (administrasi) kontrol terhadap norma yang ditetapkan oleh pemerintahan dikenal sebagai “general norm control mechanism”. Mekanisme kontrol norma umum inilah yang biasa disebut dengan “abstract review” atau pengujian abstrak yang dapat dilakukan oleh lembaga eksekutif, legislatif maupun oleh lembaga peradilan. Abstract review yang dilakukan oleh lembaga eksekutif, misalnya pengujian oleh pemerintah pusat atas peraturan daerah provinsi, maka mekanisme demikian itu disebut executive review.
Selanjutnya, Abstract review yang dilakukan oleh DPRD dan Pemerintah Daerah yang menetapkan peraturan daerah itu sendiri, maka mekanisme peninjauan kembali semacam itu dinamakan legislative review yang dapat menghasilkan perubahan (amandemen) peraturan.
Jika pengujian itu dilakukan oleh lembaga peradilan, maka itulah yang biasa disebut sebagai judicial review. Disamping Abstract review, mekanisme kontrol norma juga dapat dilakukan melalui prosedur “abstrak preview”, yakni kontrol yang dilakukan sebelum norma hukum yang bersangkutan mengikat secara umum. Mekanisme demikian dapat disebut sebagai “executive preview” oleh pemerintahan atasan.
MERANCANG MODEL AUDIT KEBIJAKAN DAERAH
Diperlukan upaya untuk memperbaiki mekanisme review perda. Perbaikan mekanisme review tersebut merupakan syarat bagi peningkatan kualitas pelaksanaan desentralisasi di Indonesia. Peningkatan kualitas perda yang dibentuk oleh tiap-tiap daerah dapat berdampak positif bagi kemajuan daerah tersebut. Upaya perbaikan mekanisme review perda meliputi:
1. revisi peraturan mengenai pengawasan perda di wilayah eksekutif, mensinergikan kegiatan atau program pada unit-unit kerja yang terdapat di kementerian yang memiliki kewenangan terkait perda, dan
2. membenahi struktur organisasi di tingkat daerah (propinsi) untuk menjalankan perannya dalam mengawasi perda.
Model Audit Kebijakan Daerah, dimaksudkan untuk (1) mengembangkan model formulasi kebijakan yang spesifik dan menjadi acuan bagi pemerintah kabupaten/kota yang ada di Propinsi Maluku; (2) mengembangkan instrumen review kebijakan. Instrumen review kebijakan yang dimaksud terdiri dari 2 tipe yaitu (1) review kesesuaian dengan norma-norma hukum (legal draf audit), dan (2) review terhadap tahapan-tahapan perumusan kebijakan (policy draf audit).
Keseluruhan proses tersebut dilakukan untuk mendapatkan standar formulasi kebijakan baik menyangkut standar mutu audit; standar pelaksanaan dan instrumen audit. Model audit kebijakan daerah penting untuk menjaga kualitas proses formulasi daerah; mencegah terjadinya kebijakan yang tidak sesuai dengan arah dan kebijakan pemerintah; dan menjamin kualitas dan idependensi audit kebijakan daerah.
Model pengawasan daerah terhadap formulasi kebijakan daerah yang spesifik dan menjadi acuan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Maluku, penting untuk menjaga kualitas proses formulasi daerah; mencegah terjadinya kebijakan yang tidak sesuai dengan arah dan kebijakan pemerintah; dan menjamin kualitas dan idependensi audit kebijakan daerah.
Audit kebijakan daerah itu menjadi instrumen review yang mencakup (1) review kesesuaian dengan norma-norma hukum (legal draf audit), dan (2) review terhadap tahapan-tahapan perumusan kebijakan (policy draf audit). Keseluruhan proses tersebut dilakukan untuk mendapatkan standar formulasi kebijakan baik menyangkut standar mutu audit; standar pelaksanaan dan instrumen audit.
Audit kebijakan daerah, merupakan salah satu unsur manajemen pemerintah yang penting dalam rangka mewujudkan ke pemerintahan yang baik (good governance) yang mengarah pada pemerintahan/birokrasi yang bersih (clean government).
Untuk menjaga mutu hasil audit kebijakan daerah, diperlukan Standar Audit Kebijakan Daerah. Standar Audit Kebijakan Daerah yang selanjutnya disebut Standar Audit adalah kriteria atau ukuran mutu minimal untuk melakukan kegiatan audit internal terhadap kebijakan daerah utamanya dalam perumusan dan penyusunan produk hukum daerah.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa dalam prespektif negara kekuasaan atau unitary state (eenheidsstaat) adalah logis untuk mengembangkan pengertian bahwa pemerintahan atas berwenang melakukan kontrol terhadap unit pemerintahan bawahannya. Dalam hubungannya dengan audit kebijakan daerah, maka executive priview untuk rancangan kebijakan dan juga audit kebijakan sebagai bentuk evaluasi.
Kedua hal tersebut merupakan terobosan hukum untuk (1) meningkatkan kualitas kebijakan dan (2) menjaga keselarasan pembangunan regional (nasional). Hal ini penting mengingat ketentuan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014, Pasal 251 ayt (1), ayat (2), ayat (7) dan ayat (8) memang bukan merupakan bentuk “judicial review” melainkan suatu bentuk pengawasan dalam lingkungan bestuur oleh satuan bestuur yang lebih tinggi yakni pengawasan administrasi (administratief beroep) dan banding administrasi (adminstratief toezict).
Pengawasan administrative tersebut dapat berupa pengawasan prenentif dan pengawasan represif. Kedua bentuk pengawasan tersebut opersionalisasinya sebagaimana dimaksud didalam PP Nomor 12 Tahun 2107 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Dengan demikian, terhadap mekanisme evaluasi kebijakan daerah dalam hal pembentukan produk hukum daerah secara subtansial ada pada legal framework baik tentang policy formulation maupun policy audit. Oleh karena itu, dari aspek kepatuan dan kepastian hukum terhadap pembentukan kerangka kerja pengembangan kebijakan (policy development framework) tidak bertentangan dengan Putusan MK itu sendiri.
Proses perumusan kebijakan dikembangkan oleh para ahli menjadi siklus kebijakan yang dianggap standar dan berurutan dari tahap paling awal sebagai berikut (1).Agenda setting (Identifikasi Permasalahan): Penetapan suatu subjek sebagai permasalahan yang menjadi fokus pemerintah; (2).Policy formulation: Meliputi pencarian alternatif tindakan yang tersedia untuk menyelesaikan permasalahan (penaksiran, dialog, formulasi dan konsolidasi); (3).Decision-making: Pemerintah memutuskan suatu tindakan, baik untuk mempertahankan status quo suatu kebijakan yang ada, atau mengganti suatu kebijakan (Keputusan dapat berupa positif, negatif atau keputusan untuk tidak bertindak); (4).Implementation: Keputusan paripurna yang dibuat dan berupa suatu tindakan nyata; dan (5) Evaluation: Mengukur efektifitas kebijakan publik baik dari sisi harapan pemerintah dan pemangku kepentingan, ataupun dari hasil nyata di lapangan.
Fase penyusunan kebijakan secara lebih detail dengan memasukkan unsur: policy adoption; policy assessment; policy adaptation; policysuccession dan policy termination. Elemen-elemen minimum yang harus ada dalam suatu kebijakan secara umum adalah (a) Tujuan kebijakan (purpose statement): memuat pernyataan mengenai tujuan suatu organisasi menerbitkan sebuah kebijakan dan dampak dari kebijakan sesuai harapan organisasi; (b).Lingkup dan keterterapan kebijakan (an applicability and scopestatements): memuat pernyataan mengenai entitas dan unsur-unsur yang memperoleh dampak dari kebijakan.
Tingkat keterterapan kebijakan dan lingkup dapat mengungkap pihak- pihak yang menjadi target kebijakan, dan juga pihak-pihak yang tidak memiliki kewajiban atas suatu kebijakan dan tidak memperoleh dampak atas suatu kebijakan; (c).Tanggal berlaku suatu kebijakan (an effective date): menunjukkan waktu kebijakan mulai berlaku, termasuk pula bila suatu kebijakan berlaku surut; (d).Pihak yang bertanggung jawab (a responsible section): menyatakan tentang pihak-pihak yang bertanggung jawab melaksanakan kebijakan, termasuk penjelasan secara jelas mengenai tugas dan fungsi pihak-pihak tertentu. (e).Pernyataan kebijakan (policy statements): Menjelaskan hubungan/ ikatan hukum suatu kebijakan dengan kebijakan-kebijakan lain dan dengan aspek perilaku organisasi pembuat kebijakan. Oleh karena itu, bentuk penyataan dalam suatu kebijakan sangat beragam dan spesifik sesuai dengan kondisi, maksud dan sifat organisasi.
Tahapan perumusan kebijakan tersebut belum sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah daerah. Hal ini berdampak pada rendahnya kualitas kebijakan yang dihasilkan, selain juga bertentangan dengan kebijakan-kebijakan di atasnya. Adalah fakta bahwa berbagai kebijakan di daerah tidak sejalan kepentingan regional maupun kepentingan nasional.
Audit atas suatu kebijakan dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu pada tahap ex-ante dan ex-post (kecuali produk kebijakan itu sendiri) secara ideal dilakukan oleh entitas pengendali yang bukan merupakan subjek kebijakan itu sendiri. Tahap ex-ante: Menilai suatu proses perumusan kebijakan dari agenda setting sampai tahap akhir (termination atau evaluation), baik dari proses, alasan, tujuan, aktor-aktor pembuat kebijakan dan penetapan aktor-aktor yang bertanggungjawab dalam implementasi suatu kebijakan.
Tahap ex-post: menilai output dan outcome serta merumuskan simpulan atas kinerja entitas dengan menilai relevansinya dengan kebijakan yang digunakan. Pemeriksaan lebih mendalam akan memungkinkan bagi pemeriksa untuk menentukan penyebab ketidaksesuaian antara implementasi dengan kebijakan. Bila tidak sesuai, sikap skeptis pemeriksa akan mendorong pada pemikiran tentang penyebab ketidaksesuaian tersebut.
BAGAIMANA KITA BERSIKAP ?
Dua sistem review perda yang saat ini diatur sebenarnya telah mencerminkan adanya kebijakan untuk mengontrol perda. Executive review merupakan kewenangan pemerintah dalam mengontrol sistem pemerintahannya, sedangkan judicial review merupakan hak masyarakat untuk mengontrol perda yang dibuat oleh pemerintah daerah.
Jadi ada dua sisi yang mengontrol perda. Tetapi dalam implementasinya masih ditemukan masalah sehingga mekanisme kontrol atau review tersebut tidak dapat berjalan secara optimal, termasuk implikasi dari adanya Putusan MK. Permasalahan dalam lingkup executive review antara lain dipengaruhi oleh regulasi yang mengaturnya.
Inkonsistensi antara peraturan di tingkat yang lebih tinggi dengan peraturan di tingkat teknis menyebabkan lemahnya implementasi sistem yang telah dibuat. Seperti pengaturan kewenangan pembatalan, pelibatan pemerintah propinsi dalam mengawasi perda kabupaten/kota, dan koordinasi dan kerjasama antara kementerian yang mempunyai kewenangan terkait perda.
Selain regulasi, masalah dalam executive review juga disebabkan oleh inisiatif dari kementerian yang berwenang untuk menjalankan sistem pengawasan secara menyeluruh. Sementara itu, dalam pelaksanaan judicial review permasalahan yang dihadapi antara lain terkait dengan mekanisme yang menyulitkan masyarakat dalam menempuh prosedur untuk mengajukan judicial review perda.
Seperti pembatasan waktu pengajuan perda, pembebanan biaya pendaftaran dan penanganan perkara, jangka waktu pemeriksaan dan transparansi dalam pemeriksaan permohonan.
TANTANGAN KEDEPAN.
Rancang bangun model audit kebijakan daerah merupakan inovasi yang dibangun dan dikembangkan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Maluku, melalui Biro Hukum dan HAM, yang mencakup didalamnya Standar Formulasi Kebijakan (Formulation Policy Audit).
Berkaitan dengan Standar Audit, Standar Pelaksanaan dan Instrumen Audit. Disesuaikan dengan mekanisme pengawasan, untuk (1) kesesuaian norma; dan (2) kesesuaian kebijakan nasional. Selain itu juga, diperlukan Penataan Kelembagaan.
Review dan penguatan organisasi/unit yang berhubungan dengan pengawasan produk hukum daerah, termasuk penguatan kapasitas dan pendampingan secara berkelanjutan dan berkesinambungan antar satuan pemerintahan. Pada bagian lain, Permasalahan Teknis Pengawasan.
Diperlukan pengaturan secara rinci melalui Perpres/PP untuk menghindari tumpang tindih kewenangan yang berdampak pada penataan wewenang pengawasan perda, melalui pendelegasian kewenangan mengatur mekanisme peraturan atau keputusan menteri
Selain aspek aspek tersebut diatas, dibutuhkan pula Penataan Regulasi. Perubahan terbatas terhadap UU Pemerintahan Daerah terkait dengan relasi antara putusan judicial review dengan pembatalan perda oleh pemerintah, sesuai dengan Putusan MK.
Oleh karena itu, Penyusunan Policy Audit dan Formulation Audit. Dimaksudkan untuk penataan koordinasi lintas kementiran/lembaga melalui unit unit kerja dalam pendampingan/ fasilitasi produk hukum daerah. Selanjutnya juga diperlukan Pusat Informasi Terintegrasi.
Mengatur mengenai prosedur dan mekanisme audit kebijakan daerah terhadap produk hukum daerah, lengkap dengan pelaksanaan peran tiap-tiap kementrian/lembaga yang berhubungan dengan produk hukum daerah
RUJUKAN
Rondinelli, D.A. (1981) ‘Government Decentralization in Comparative Perspective in Developing Countries’ International Review of Administrative Sciences, Vol. 47,No. 2, pp. 133-145.
Ruiz. E. (2009). Discriminate Or Diversify. PositivePsyche.Biz Corp Ryan R & Woods R. 2015. Decentralisation and Subsidiarity: Concepts and frameworks for emerging economies. Occasional Paper Series Number 15. Forum of Federations, 2015.
Stranks, J.W. (2007). Human Factors and Behavioural Safety. Routledgevon Braun J and Grote U. 2000. Does Decentralization Serve the Poor? IMF-conference on fiscal decentralization 20-21 ovember in Washington D.C Work R. 2002.
Overview of Decentralisation Worldwide: A Stepping Stone to Improved Governance and Human Development. 2nd International Conference on Decentralisation Federalism: The Future of Decentralizing States? 25–27 July 2002 Manila, Philippines
Phlipus M Hadjon, et al. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadja MadaUniversity Press, Yogyakarta, 1993
Ni’matul Huda, Problematika Pembatalan Perda, FH UII Press, Yogyakarta, Yogyakarta, 2010
Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Sinar Harapan, Jakarta,1994,
__________, Menyingsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta:Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII, 2001
I Gde Pantja Astawa, Problematika Hukum Otonomi Daerah di Indonesia, Bandung: Alumni, 2009\
Jimly Asshiddiqie, Taori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta: Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan MKRI, 2006, hlm. 143. Bandingkan pula Disseting Opinion dalam Putusan MK Nomor 137/PUU-XIII/2015
__________, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008
Sobat baru saja selesai membaca :
RANCANG BANGUN MODEL AUDIT KEBIJAKAN DAERAH
Cepot rasa sudah cukup pembahasan tentang RANCANG BANGUN MODEL AUDIT KEBIJAKAN DAERAH dikesempatan ini, moga saja dapat menambah informasi serta wawasan Sobat semuanya. Wookey, kita ketemu lagi di artikel berikutnya ya?.
Telah selesai dibaca: RANCANG BANGUN MODEL AUDIT KEBIJAKAN DAERAH link yang gunakan: http://cepotpost.blogspot.com/2017/11/rancang-bangun-model-audit-kebijakan.html