Judul : Selamat Menjadi Suami, Bro!
link : Selamat Menjadi Suami, Bro!
Selamat Menjadi Suami, Bro!
Akhir pekan kemarin, teman akrab saya sejak kecil, melangsungkan pernikahan. Dia bernama Hendra Agustian, seorang apoteker, dan sekarang malah sudah mengepalai toko obat di sebuah daerah dari perusahaan farmasi ternama di negeri ini.
...dalam urusan karir, dia memang yahud.
Kerjanya berpindah-pindah. Beberapa bulan lalu ia ada di Batam (kalau tidak salah), eh sekarang sudah ke Makassar. Besok-besok entah dimana lagi. Nomaden nggak jelas.
"Nasib pegawai perusahaan, bro!" katanya, setiap kali saya tanyakan, tinggal dimana sekarang.
Saya menjawab dengan nada positif, "Nggak apa-apa pindah kesana-kemari. Itung-itung keliling Indonesia, kan? Bisa mengenal banyak tempat dan budaya yang ada di negara kita."
Beuh, keren banget jawaban saya!
Saya ingat betul, bahwa kami saling kenal bahkan ketika kami belum lancar berkata-kata. Suatu hari dia yang masih kecil datang ke basecamp (bangunan berbentuk panggung sebagai tempat tinggal karyawan perkebunan sawit) tempat saya tinggal dan kemudian terjatuh dari anak tangga bangunan itu.
Namanya juga bangunan panggung. Ada tangganya dong. Nah, kayaknya tuh dia mau naik ke atas dan kemudian terjatuh lalu menangis. Mendengar tangisannya, ibu saya, kemudian keluar dan menemukan dia tersungkur.
Waktu itu, ibu saya mengantarkannya pulang dan kemudian dari pertemuan sederhana itulah kami saling kenal dan berteman hingga sekarang.
Di perkebunan sawit, orangtuanya memiliki jabatan yang lebih baik dibandingkan orangtua saya yang hanya pekerja harian, tukang cabut rumput atau pekerjaan kasar lainnya. Ayahnya adalah mandor bengkel. Pekerjaannya lebih asik, gajinya juga pasti lebih besar. Buktinya saja, tempat tinggal yang disediakan untuk kedua orang tua kami berbeda.
Saya dan orangtua tinggal di basecamp bentuknya mirip bedengan yang sangat-sangat sederhana dan berbentuk rumah panggung sedangkan Hendra dan orangtuanya tinggal di perumahan seperti perumahan yang ada di kota-kota. Seragam semua. Kiri kanan, depan belakang.
Sejak peristiwa na'as itu, kami kemudian saling kenal. Kami bersekolah di TK, SD, dan SMP yang sama. Semasa menempuh pendidikan itu, dia adalah saingat terberat saya. Kami berteman akrab, tapi kami saling bersaing ketat. Di dalam dada kami, ada semangat yang tinggi untuk saling membuktikan bahwa "Saya yang terbaik!"
Jadilah, setiap bagi raport, nama kami selalu berdampingan. Juara satu dan juara dua. Nggak pernah ada yang bisa menggeser. Hendra pintar, tapi saya lebih cerdas! (Hahahaha...)
Di SD, Hendra baru bisa mengalahkan saya saat kelulusan. Nilai Ebtanas Murni (NEM) miliknya lebih tinggi dari saya. Dan saya geram bukan main ketika itu. Bisa-bisanya dia lebih tinggi dari saya? Padahal, harusnya saya yang lebih tinggi..
...dan karena hal ini, saya menangis di depan almarhum ayah saya. Pasalnya, almarhum ayah memang selalu menginginkan anaknya berprestasi di bidang apapun.
"Jika untuk urusan dunia, maka lihat ke bawah. Tapi jika untuk urusan ilmu, maka lihat ke atas. Untuk ilmu, jangan cepat puas dan kejarlah setinggi mungkin..."
Untungnya ayah saya ketika itu tidak marah dan cuma bilang, "Kalau kamu sudah melakukan yang terbaik, tidak masalah juara dua. Itu tidak buruk-buruk amat kok."
Persaiangan ketat dan sehat kami berlanjut di tingkat SMP. Hanya saja, karena SMP kami jauh lebih besar dibandingkan SD, dibuktikan bahwa setiap kelasnya ada dua ruangan, maka saya dan dia tidak pernah berada di kelas yang sama.
Jadilah dia selalu juara satu, saya juga demikian.
Persaingan kami tetap terjadi di juara umum. Sekali lagi, kami saling berdampingan. Juara umum satu dan dua. Bergantian. Yah, walau sesekali ada orang lain yang ikutan masuk, tapi itu tidak akan lama. Orang-orang selalu mengenal Syaiful Hadi dan Hendra Agustian saja sebagai bintang sekolah.
Orang-orang akan menggelengkan kepala, "Bagaimana bisa mereka bersaing di prestasi akademik, tapi kok tetap berteman akrab. Kemana-mana berdua. Kayak amplop dan perangko."
Di kelulusan SMP, keberuntungan berpihak ke saya dan nilai Ujian Nasional tertinggi saya genggam. Saya bahkan menjadi yang terbaik kedua sekabupaten Mukomuko, Bengkulu, kala itu.
Karir pendidikan kami kemudian terpisah disini. Saya melanjutkan SMA ke kota Propinsi karena memiliki cita-cita ingin kuliah di salah satu perguruan tinggi besar: UI, UGM, ITB, IPB, atau USU. Sedangkan dia, tetap di Kecamatan saja.
Guru saya bilang, "Kalau mau mudah masuk ke salah satu perguruan tinggi itu, maka masuk ke SMA terbaik di kota propinsi, sebagai batu loncatan. Jangan di SMA Kecamatan."
Saya menuruti petuah guru saya dan pergi merantau. Sebenarnya saya ajak juga Hendra, tapi ia berat meninggalkan orangtuanya. Karena dia adalah anak yang senantiasa membantu pekerjaan ibunya di rumah. Anak berbakti yang baik, cerdas, dan pantas dicontoh oleh siapa saja.
Singkat cerita, dia melanjutkan SMA di kecamatan dan tetap menjadi bintang kelas lalu masuk ke jurusan Farmasi Universitas Sumatera Utara. Sedangkan saya, setelah lulus SMA, diterima di Institut Pertanian Bogor.
Sejak kecil hingga sekarang, banyak hal yang sudah kami lalui bersama. Misalnya, kami pernah hanyut berdua di pantai ketika merayakan kelulusan SMP, sebuah kenangan yang tidak mungkin saya lupakan sampai mati. Karena berkat kejadian ini, sampai sekarang saya jadi tidak berani lagi mandi di pantai. Takut hanyut. Juga karena kepala langsung nyut-nyutan setiap kali melihat ombak yang besar.
Kami juga, dulu, sering main nintendo dari pagi hingga sore hari. Menginap di masjid untuk belajar setiap akan ada ujian atau ulangan harian, hampir nambrak puso ketika pulang les ketika SD, atau hal remeh temeh lainnya.
Hingga saat ini, kami masih saling kontak. Mengirim SMS sekedar bertanya kabar, atau bercengkerama melalui telepon.
...dan satu hal yang sering kali saya tanyakan setiap kali mengobrol dengannya adalah, "Elu kapan nikah bro? Inget umur loh... Ntar keburu tua dan karatan tuh senjata..."
Kami berdua terbahak, dia menimpali, "Elu kira ini keris senjata pusaka?"
Akhir pekan kemarin, entah di gadis yang keberapa, akhirnya ia menikah juga. Menghentikan pengembaraannya menjadi seorang lajang yang kian menua. Kirain nggak mau nikah. Untunglah kalau akhirnya sadar juga.
Selamat menempuh hidup baru, Bro. Semoga bahagia dan segera punya anak.
Demikian.
Sobat baru saja selesai membaca :
Selamat Menjadi Suami, Bro!
Cepot rasa sudah cukup pembahasan tentang Selamat Menjadi Suami, Bro! dikesempatan ini, moga saja dapat menambah informasi serta wawasan Sobat semuanya. Wookey, kita ketemu lagi di artikel berikutnya ya?.
Telah selesai dibaca: Selamat Menjadi Suami, Bro! link yang gunakan: http://cepotpost.blogspot.com/2017/04/selamat-menjadi-suami-bro.html